BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an datang dengan membuka lebar-lebar mata
manusia, agar mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di
pentas bumi ini, juga agar mereka tidak terlena dengan kehidupan ini, sehingga
mereka tidak menduga bahwa hidup mereka dimulai dengan kelahiran dan berakhir
dengan kematian. Juga sebagai firman Alloh yang menjadi petunjuk mengenai apa
yang dikehendakiNya. Jadi manusia yang ingin menyesuaikan sikap dan
perbuatannya dengan apa yang dikehendakiNya itu, demi meraih kebahagiaan
akhirat, harus dapat memahami maksud petunjuk-petunjuk tersebut.
Kalau frase ”membumikan Alqur’an” harus dijelaskan,
maka memerlukan keterangan yang serius. Ungkapan tersebut menggunakan kata
kerja ”membumikan”. Maf’ul (objek)nya ”Alqur’an”. Kata dasar
”membumikan” adalah ”bumi”.
Bumi adalah planet terbesar kelima dari 8 (9?)
tatasurya kita. Bentuknya mirip dengan bola bundar dengan keliling sekitar
12.743 km. Luasnya sekitar 510 juta km. Sekitar 29 persen adalah daratan. Inti
bumi terdapat pada lapisannya yang paling dalam, kelilingnya kira-kira 6.919
km. Di sebelah atasnya, ada kerak bumi yang juga merupakan batuan yang keras
lagi padat.
Bumi berputar pada sumbunya sekali setiap 24 jam,
atau sekitar 1000 mil sejam. Dalam saat yang sama, ia mengelilingi matahari
dengan kecepatan sekitar 65000 mil sejam, kemudian bumi bersama matahari dan
planet-planet tata surya lain beredar juga dengan kecepatan 20.000 mil menuju
satu tempat, entah kemana. Beredarnya matahari yang diikuti dengan planet-planet
itu diisyaratkan oleh Alqur’an, surah Yasin, ayat 38. Kecepatan rotasi bumi
pada sumbunya itu menghasilkan pergantian terang dan gelap dalam waktu yang
cukup singkat, dan terjadinya siang dan malam (lihat M. Quraish Shihab, Dia
Dimana-mana, Jakarta, Lentera Hati, 2004, hal. 40-41).
Di planet bumi inilah manusia ditempatkan Tuhan
untuk menjalani hidup dan kehidupan, yang di situ Tuhan memberikan petunjukNya
kepada manusia. Bumi inilah tempat hidup manusia di tatasurya yang mahaluas.
Maka, agaknya maksud ”membumikan Alqur’an” adalah agar Alqur’an yang merupakan
pesan dari langit, hidayah Allah swt, betul-betul dibuktikan oleh manusia yang
tinggal di bumi sebagai pedoman hidupnya (way of life).
B. Ruusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat kita tari
rumusan massalah, berikut ini rumusan masalah yang kita bahas dalam bukunnya
qurai shihab membumikan al qur’an.
1. Biografi
Qurai shihab?
2.
Bagaimana Keotentikan Al-Quran?
3.
Bagaimana Sejarah Turunnya dan
Tujuan Pokok Al-Quran?
4.
Bagaimana
Hikmah
Ayat Ilmiah Al-Quran?
5.
Bagaimana Al-Quran, Ilmu, dan
Filsafat Manusia?
6. Bagaimana
Kebebasan dan Pembatasan dalam Tafsir?
7. Bagaimana
Hubungan Hadis Dan Al Qur’an?
8.
Bagaiman Kedudukan Perempuan
dalam Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biogrami H.M Quraish Shihab
H.M.
Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan.
Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keturunan Arab yang terpelajar, dan
menjadi ulama sekaligus guru besar tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
Sebagai seorang yang berfikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan
adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu
dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair,
sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar
di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran
Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan
sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramain dan Mesir.
Banyak guru-guru didatangkan ke lembaga tersebut, diantaranya Syaikh Ahmad
Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika.
Quraish Shihab menyelesaikan sekolah
dasarnya di kota Ujung Pandang. Ia kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di
kota Malang sambil belajar agama di Pesantren Dar al-Hadist al-Fiqhiyah. Pada
tahun 1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk
melanjutkan studi, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia
diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil jurusan
Tafsir dan Hadist, Fakultas Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun 1967.
Kemudian ia melanjutkan studinya di jurusan dan universitas yang sama sehingga
berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul “Al-Ijazasyri’I Li
alquranal-Karim” pada tahun 1969 dengan gelar M.A. Setelah menyelesaikan
studinya dengan gelar M.A tersebut, untuk sementara ia kembali ke Ujung
Pandang. Dalam kurun waktu lebih sebelas tahun (1969 -1980) ia terjun ke
berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang
kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi pemerintah
setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih sebagai
Pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu ia juga terlibat dalam
pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah Timur Indonesia dan
diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Ditengah-tengah kesibukannya itu,
ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah yang menjadi dasar kesarjanaannya.2
Pada
tahun 1980, H.M. Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk melanjutkan studinya di
Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadist, Universitas
Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan
disertasinya yang berjudul “Nasm al-Durar li al-Biqai Tahqiq wa Dirasah “
dan berhasil dipertahankan dengan nilai Suma Cum Laude. Tahun 1984
adalah babak baru tahap kedua bagi H.M.Quraish Shihab untuk melanjutkan
kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas
Ushuluddin di IAIN Jakarta. Disini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum
Al-Qur’an di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Kehadiran H.M. Quraish
Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat
oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang
dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Disamping mengajar ia juga dipercaya
untuk menduduki sejumlah jabatan. Diantaranya adalah sebagai Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih Alquran
Departemen Agama sejak 1989. Ia juga terlibat dalam beberapa organisasi
professional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim
se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya Ia juga
tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syariah, dan Pengurus
Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas
lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika : Indonesian
Journal For Islamic Studies, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama dan Refleksi Jurnal
Kajian Agama dan Filsafat. Disamping kegiatan tersebut di atas, H.M.
Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal.
Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui
pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan
gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional dan kecenderungan
pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa
diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Ditengah-tengah berbagai aktivitas
social keagamaan tersebut, H.M. Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis
yang sangat prolific. Buku-buku yang ia tulis antara lain berisi kajian di
sekitar epistemology Al-qur’an hingga menyentuh permasalahan hidup dan
kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beberapa karya tulis
yang telah dihasilkannya antara lain : disertasinya : Durar li al-Biqa’I (1982),
Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992),
Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudlu’I atas Pelbagai Persoalan Umat (1996),
Studi Kritis Tafsir al-Manar (1994), Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari
Aspek Bahasa (1997), Tafsir al-Mishbah (hingga tahun 2004) sudah
mencapai 14 jilid.3 Selain itu ia juga
banyak menulis karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah kemasyarakan. Di
majalah Amanah dia mengasuh rubric “Tafsir al-Amanah”, di Harian Pelita
ia pernah mengasuh rubrik “Pelita Hati” dan di Harian Republika di
mengasuh rubric atas namanya sendiri, yaitu “ M. Quraish Shihab Menjawab”.
Yang tak kalah pentingya, H.M. Quraish Shihab sangat aktif sebagai penulis.
Beberapa buku yang sudah Ia hasilkan
B. Keotentikan Al-Quran
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan
berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab
yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu
dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya
Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya) (QS 15:9).[1].
Sebelum menguraikan bukti-bukti kesejarahan, ada
baiknya saya kutipkan pendapat seorang ulama besar Syi'ah kontemporer, Muhammad
Husain Al-Thabathaba'iy, yang menyatakan bahwa sejarah Al-Quran demikian jelas
dan terbuka, sejak turunnya sampai masa kini. Ia dibaca oleh kaum Muslim sejak
dahulu sampai sekarang, sehingga pada hakikatnya Al-Quran tidak membutuhkan
sejarah untuk membuktikan keotentikannya. Kitab Suci tersebut lanjut
Thabathaba'iy memperkenalkan dirinya sebagai Firman-firman Allah dan
membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti
keadaannya. Ini sudah cukup menjadi bukti, walaupun tanpa bukti-bukti
kesejarahan. Salah satu bukti bahwa Al-Quran yang berada di tangan kita
sekarang adalah Al-Quran yang turun kepada Nabi saw. tanpa pergantian atau
perubahan-tulis Thabathaba'iy lebih jauh adalah berkaitan dengan sifat dan
ciri-ciri yang diperkenalkannya menyangkut dirinya, yang tetap dapat ditemui
sebagaimana keadaannya dahulu.[2]
Dr. Mustafa Mahmud, mengutip pendapat Rasyad
Khalifah, juga mengemukakan bahwa dalam Al-Quran sendiri terdapat bukti-bukti
sekaligus jaminan akan keotentikannya.[3]
Al-Quran Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun
atau tepatnya, menurut sementara ulama, dua puluh dua tahun, dua bulan dan dua
puluh dua hari.
Ada beberapa faktor yang terlebih dahulu harus
dikemukakan dalam rangka pembicaraan kita ini, yang merupakan faktor-faktor
pendukung bagi pembuktian otentisitas Al-Quran.
a.
Masyarakat Arab, yang hidup pada
masa turunnya Al-Quran, adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis.
Karena itu, satu-satunya andalan mereka adalah hafalan. Dalam hal hafalan,
orang Arab --bahkan sampai kini-- dikenal sangat kuat.
b.
Masyarakat Arab --khususnya pada masa turunnya
Al-Quran-- dikenal sebagai masyarakat sederhana dan bersahaja: Kesederhanaan
ini, menjadikan mereka memiliki waktu luang yang cukup, disamping menambah
ketajaman pikiran dan hafalan.
c.
Dalam Al-Quran, demikian pula
hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya
untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita
--lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan Firman-firman Allah atau sabda
Rasul-Nya.[4]
Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh
ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin
kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu
sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman, Sesungguhnya
Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).
Al-Quran memberikan petunjuk dalam
persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan
dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT
menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai
dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran)
untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka
berpikir (QS 16:44).[5]
Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya
Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah
hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah,
dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah.
Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode,
meskipun pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut
adalah kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat
Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok
Al-Quran.[6]
Dan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak
bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun sedikit demi
sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat, hingga mana kala dakwah telah
menyeluruh, orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu
berakhirlah turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah penegasan dari Allah
SWT: Hari ini telah
Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat untukmu serta telah Kuridhai
Islam sebagai agamamu (QS 5:3).
Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran
disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang diungkapkan adalah
sejarah bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa
yang dibawakan adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan ciri-ciri
masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat tersebut.
Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil
kesimpulan bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok:
a.
Petunjuk akidah dan kepercayaan
yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan
dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
b.
Petunjuk mengenai akhlak yang
murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus
diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
c.
Petunjuk mengenal syariat dan hukum
dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih
singkat, "Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang
harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat."
D. Hikmah Ayat Ilmiah Al-Quran
Ada sekian kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh
Al-Quran, tetapi tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan
kebesaran Tuhan dan ke-Esa-an-Nya, serta mendorong manusia seluruhnya untuk
mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan
kepada-Nya. Mengenai hal ini, Mahmud Syaltut mengatakan dalam tafsirnya:
"Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan Al-Quran untuk menjadi satu kitab
yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem
seni serta aneka warna pengetahuan.
Sejak pertengahan abad ke-19, umat Islam menghadapi
tantangan hebat, bukan hanya terbatas dalam bidang politik atau militer, tetapi
meluas hingga meliputi bidang sosial dan budaya. Tantangan ini memberikan
pengaruh yang sangat besar dalam pandangan hidup serta pemikiran golongan besar
umat Islam. Di sana-sini mereka melihat kekuatan Barat dan kemajuan ilmu
pengetahuan, dan di lain pihak mereka merasakan kelemahan umat serta kemunduran
dalam lapangan kehidupan dan ilmu pengetahuan. Keadaan yang serupa ini
menimbulkan perasaan rendah diri atau inferiority complex pada sebagian besar
kaum Muslim.
Para cendekiawan Islam berusaha memberi reaksi
walaupun dengan cara-cara yang tidak tepat. Ada di antara mereka yang mengambil
sifat apatis, acuh tak acuh terhadap kemajuan tersebut; ada pula yang dengan
spontan meletakkan senjata untuk menyerah dengan mengikuti segala sesuatu yang
bercorak Barat --meskipun dalam hal-hal yang menyangkut kepribadian atau
adat-istiadat. Adapula yang menentang haluan ini dengan mengajak masyarakat
Islam menerima dan mempelajari ilmu pengetahuan dan sistem yang dipergunakan
Barat dalam mencapai kemajuan tanpa meninggalkan kepribadian atau
prinsip-prinsip agama.
Seseorang tidak dapat membenarkan satu teori ilmiah
atau penemuan baru dengan ayat-ayat Al-Quran. Dari sini mungkin akan timbul
pertanyaan: kalau demikian apakah Al-Quran harus dipahami sesuai dengan paham
para sahabat dan orang-orang tua kita dahulu? Tidak! Setiap Muslim, bahkan
setiap orang, wajib memahami dan mempelajari Kitab Suci yang dipercayainya.
Bahkan, dalam mukadimah Tafsir Al-Kasysyaf, Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa
mempelajari tafsir Al-Quran merupakan "fardhu 'ayn".
Setiap Muslim wajib mempelajari dan memahami
Al-Quran. Tetapi ini bukan berarti bahwa ia harus memahaminya sesuai dengan
pemahaman orang-orang dahulu kala. Karena seorang Muslim diperintahkan oleh
Al-Quran untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemoohkan mereka yang
hanya mengikuti orang-orang tua dan nenekmoyang tanpa memperhatikan apa yang
sebenarnya mereka lakukan; adakah mereka ala hudan (dalam kebenaran) atau 'ala
dhalal (dalam kesesatan).[7]
Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung tiga hal
pokok:
1.
Tujuan.
a.
Akidah atau kepercayaan, yang
mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu,
dan segala kaitannya dengan, antara lain, Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para
Nabi; serta (c) Hari Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
b.
Budi pekerti, yang bertujuan
mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat, dalam bentuk antara lain
gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang, tanggung jawab, dan lain-lain.
c.
Hukum-hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dirinya, dan alam sekitarnya.
2.
Cara.
Ketiga hal tersebut diusahakan pencapaiannya oleh Al-Quran melalui empat
cara:
a.
Menganjurkan manusia untuk
memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan
dan sebagainya, agar manusia --melalui perhatiannya tersebut-- mendapat manfaat
berganda: (a) menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan
segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
b.
Menceritakan peristiwa-peristiwa
sejarah untuk memetik pelajaran dari pengalaman masa lalu.
c.
Membangkitkan rasa yang terpendam
dalam jiwa, yang dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia
datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir
hayatnya (yang jawaban-jawabannya diberikan oleh Al-Quran).
d.
Janji dan ancaman baik di dunia
(yakni kepuasan batin dan kebahagiaan hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat,
dan sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di akhirat dengan surga atau neraka.
3.
Pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang disampaikan oleh Al-Quran seperti yang
disebut di atas, maka di celah-celah redaksi mengenai butir-butir tersebut,
ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada garis besarnya dapat terlihat
dalam tiga hal pokok:
a.
Susunan redaksinya yang mencapai
puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab.
b.
Ilmu pengetahuan dari berbagai
disiplin yang diisyaratkannya.
c.
Ramalan-ramalan yang diungkapkan,
yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Quran seperti yang dikemukakan
secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran berbicara
tentang ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara tentang filsafat dalam
segala bidang pembahasan, dengan memberikan jawaban-jawaban yang konkret
menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai dengan fungsinya: memberi
petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi jalan keluar bagi
persoalan-persoalan yang mereka
1. Kebebasan
dalam Menafsirkan Al-Quran
Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang memerintahkan kita untuk
merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap mereka yang sekadar mengikuti
pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula
bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di mana
pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia pada abad ke-20 serta
generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan
yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Quran.
2.
Pembatasan dalam Menafsirkan
Al-Quran
Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak
memperhatikan kandungannya, dan bahwa para sahabat sendiri seringkali tidak
mengetahui atau berbeda pendapat atau keliru dalam memahami maksud
firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak dini telah timbul
pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.
Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling
mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari
empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab
berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi
seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh
ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[8]
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a)
menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat
penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang tak dapat
diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari
Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a)
ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang,
seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada
firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan
mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya
kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam 'lmunya berkata kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7).[9]
Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai
dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti
masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang
tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.[10]
G. Hubungan Hadis
dan Al-Quran
a.
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran
Al-Quran
menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah
(QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
Abdul Halim
Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi
Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan
Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk
kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa,
dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan
ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi
kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas,
merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
b.
Pemahaman atas Makna Hadis
Seperti
dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna,
dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang
diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang
harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan
meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis
masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan
dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi
pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika
diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam
pembahasan tentang pemahaman makna hadis.
Al-Qarafiy,
misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam
hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali
lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau
pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan
keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya.
Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.[11]
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam
ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan
maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang
kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan
ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan
perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa (QS 49: 13).
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam
tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam
pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar
Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan
pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan
menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh
perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik
dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja
kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.[12]
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin
tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan
antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah
menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki.
Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk
memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu,
hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini
(lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual
dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan
menyaksikan.[13]
Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang
bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi (1) asal
kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berbagai bidang.
Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki?
Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah
satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh
setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya
manusia dari surga?
Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan
pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan
yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas
dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini.
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah
oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa': Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya
Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
lelaki dan perempuan yang banyak.
Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang
membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari
satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan
mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai
shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi: Saling pesan-memesanlah untuk berbuat
baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.
(Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).
Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang
dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang
kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan
lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari
hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar,
menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam
Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada
pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas
dalam benak seorang Muslim.[14]
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam
pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para
lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter,
dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka
tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka
berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk
yang bengkok.
Memahami hadis di atas seperti yang telah
dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi
kodrat (bawaan)-nya sejak lahir.
Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan bahwa: Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan).
Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai
ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau
kemanusiaan.Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada hak-hak
perempuan: Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan
bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya. Berikut ini
akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut
pandangan ajaran Islam.
3.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang
Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh
para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah
yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk
mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja
sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh
"menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau
perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan
demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti
perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi
saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.[15]
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam
pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh
bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara
mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta,
selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta
selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari
dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan
menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk
bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka
membutuhkan pekerjaan tersebut.[16]
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw.
yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan
kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah
membaca atau belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan...
Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud
kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk
menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar:
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan
Muslimah).
Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar
kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu
pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat
mereka, ditegaskannya bahwa: Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka
dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).
BAB III
PENUTUP
Al-Quran
memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak,
dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan
tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang
lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran)
untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar
mereka berpikir (QS 16:44)
Al-Quran
Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di
antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh
Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara.
[1] Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir
Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, t.t., h. 50.
[2] Muhammad Husain
Al-Thabathabaly, Al-Qur'an fi Al-Islam, Markaz I'lam Al-Dzikra Al-Khamisah li
Intizhar Al-Tsawrah Al-Islamiyah, Teheran, h. 175.
[4] 'Abdul Azhim
Al-Zarqaniy, Manahil Al-'Irfan i 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Kairo, 1980,
jilid 1, h. 250.
[5] Whitehead, Science and the Modern World, hal. 180.
[6]
Opcit. Lihat 'Abdul Halim Mahmud, , h. 73-74.
[7]
Lihat Mu'jam Mufradat li Alfazh
Al-Quran, diedit oleh Nadim Mar'asyli, Dar Al-Fikr, Beirut t.t., h. 355
[8]
Al-Zarkasyi, Al-Burhan to 'Ulum
Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid II, h. 164
[11]
Ketetapan hukum
selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya). Bila motifnya ada, hukumnya
bertahan; dan bila motif nya gugur, hukumnya pun gugur.
[12] Muhammad Al-Ghazali,
Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h.
138.
[13]
Prof. Dr.
Mahmud Syaltut,., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar,
1959, h. 193
[14] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar
Al-Manar, tth, H jilid IV
[15]
Prof. Dr Amin Al-Khuli,.,
Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr
Al-Mu'ashir, Baqhdad, t.t., h. 13.
[16]
Prof. Dr
Abdul Wahid Wafi,., Al-Musawat fi Al-Islam, Kairo, Dar Al-Ma'arif, 1965, h. 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar