AL-QUR’AN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah
Agama Islam, agama yang kita anut
dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of
life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak.
Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke
jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman,
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).
Al-Qur’an
memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah,
dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai
persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul SAW., untuk
memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Qur’an) untuk
kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar
mereka berpikir (QS 16:44).
Disamping
keterangan yang diberikan oleh Rasulullah SAW., Allah memerintahkan
pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari
Al-Qur’an: Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Qur’an, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belllakang di atas
dapat kami rumuskan beberapa permasalahan yaitu:
1. Apa Pengertian
Al Qur’an?
2. Bagaimana
Sejarah Turunnya Al Qur’an?
3. Bagaimana
Kemukjizatan Al Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qur’an
1.
Al-Quran Secara Etimologi ( Bahasa )
a.
Al-Lihyani
Al- Quran
merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan Kepada nabi kita Muhammada SAW
b.
Az-Zujaj
Al-Quran
merupakan nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi yang
menghimpun surat-surat , dan kisah-kisah, juga perintah dan larangan atau
menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.
c.
Al-asya`ri
Al-Quran adalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yangsaling menguatkan danterdapat kepemimpinan antara ayat satu dengan ayat lainnya.
Al-Quran adalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yangsaling menguatkan danterdapat kepemimpinan antara ayat satu dengan ayat lainnya.
d.
Al- Farra
Al-Quran
dalah kumpulan yang terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan.
2.
Al-Quran Secara Terminologi (
Istilah )
a.
Al- Jurajani :
Al- Quran
adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam
mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan
b.
Manna al-Qatthan :
Al-Quran
adalah kiatb ynag diturunkan Allah kepada Nabi uhammad SAW dan orang
yang membacanya akan memperoleh pahal
c.
Abu Syahbah :
Al-Quran
adalah kitab yang diturunkan baik lafaz atau makna kepada Nabi terakhir,
diriwayatkan secara mutawatir (penuh kepastian dan keyakinan) ditulis
pada mushaf dari surah Al- Fatihah sampai surah An-Nas.
d.
Pakar Ushul Fiqh, dan Bahasa Arab
:
Al-Quran
adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Nya, lafaznya dengan mengandung
mukjizat , membacannya mepunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir
dan ditulis pada mushaf.
B. Sejarah Turunnya Al Qur’an
1.
Metode Turunnya Wahyu Al
Qur’an
Al-Quran
turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari 17 Ramazan tahun 41 dari kelahiran
Nabi sampai 9 Zulhijjah Haji wada`tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H
Al-Quran turun melalui tiga tahap yaitu :
a.
Al Quran turun sekaligus dari
Allah ke Lukh mahfudh Al- Quran turun dari laukh mahfudh ke bait Al- izzah
(tempat yang berada dilangit dunia
b.
Al-Quran turun dari bait Al-
izzah ke hati Nabi melalui perantara Jibril dengan berangsur-angsur, kadang
satu ayat, dua ayat, bahkaan satu surat
2.
Hikmah Diturunkan Al-Quran Secara
Berangsur-Angsur yaitu :
a.
Menentang dan melemahkan para
penantang Al-Quran
b.
Memudahkan untuk di hafal dan di
pahami
c.
Mengikuti setiap kejadian (yang
menyebabkan turunnya Al-Quran)
d.
Membuktikan dengan pasti bahwa
Al-Quran turun dari Allah yang Maha Bijaksan.
C. Metode Penulisan Al Qur’an
Pada masa nabi, wahyu yang diturnakan oleh Allah kepadanya tidak hanya
di eksprersikan dalam betuk hafalan tapi juga dalam bentuk tulisan.
Sekretaris pribadi nabi yang bertugas mencatat wahyu yaitu Abu Bakar, Umar bin Kahtab, Khalid Bin Walid dan Mua`wiyah Bin Abi Sofyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana yaitu lontaran kayu, pelepah kurma., tulang-belulang, dan batu.
Sekretaris pribadi nabi yang bertugas mencatat wahyu yaitu Abu Bakar, Umar bin Kahtab, Khalid Bin Walid dan Mua`wiyah Bin Abi Sofyan. Mereka menggunakan alat tulis sederhana yaitu lontaran kayu, pelepah kurma., tulang-belulang, dan batu.
Faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi yaitu membukukan
hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para Sahabat dan mempersentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna.
1.
Penulisan Al Qur’an Pada Masa
Khulafaurrasyidin
Pada masa Khalifah Abu Bakar beliau memerintahkan untuk mengumpulkan
wahyu-wahyu yang tersebar, kedalam satu mushaf, Usaha pengumpulan ini dilakukan
setelah terjadi perang Yamamah pada 12 H yang telah menggugurkan nyawa 70 orang
penghafal Al-Quran. Akibat dari kekhawatiran atas kelestarian Al-Quran ,
maka dipercayakan Zaid bin tsabit untuk mengumpulkan wahyu tersebut. Usaha
pengumpulan tersebut selesai dalam waktu ± 1 tahun yaitu pada 13 H.
Kemudian pada masa khalifah Usman bin Affan terjadi perselisihan paham
tentang perbedaan cara baca Al-Quran yang sudah berada pada titik yang
menyebabkab umat Islam saling menyalahkan yang pada akhirnya menyebabkan
perselisihan . Akibat peristiwa tersebut , timbul lah inisiatif khaalifah Usman
untuk mengumpulkan Al-Quran. Orang yang melakukan resensi Al-Quran adalah ;
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Alsh dan Abdurrahman bin Al-
Harish . Dengan demikian suatu naskah absah Al-Quran yang disebut Mushaf Usmani
telah diterapakan dan salinan nya di bagi beberapa wilayah utama daerah Islam
2.
Penyempurnaan Penullisan Al
Qur’an Setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis pada masa khalifah Usman tidak memiliki harakat dan
tanda titik, sehingga orang non arab yang memeluk Islam merasa kesulitan
membaca mushaf tersebut Oleh karena itu pada masa khalifah Abd Al-Malik (
685-705 ) dilakukan penyempurnaan oleh dua tokoh berikut :
a.
Ubaidilllah bin ziyad, beliau
melebihkan alif sebagai pengganti dari huruf yang di buang.
b.
Al-Hajjad bin yusuf Ats-
Tsaqafi, beliau menyempurnakan mushaf Usmani pada sebelas tempat yang
memudahkan pembaca mushaf.
c.
Abu Al-Aswad Ad- Du`Ali , Yahya
Bin Ya`Mar, Nashr Bin Asyim Al-Laits sebagai orang yang pertama kali
meletakkan tanda titik pada mushaf Usmani.
d.
al-Khalid bin Ahmad Al- Farahidi
Al-Azdi , beliau orang yang pertama kali meletakkan hamzah , tasdid, arrum dan
Al-Isyamah adalah .
3.
Proses Pencetakan Al-Quran
Berikut
ini urutan proses pencetakan Al Qur’an ;
a.
Pertama kali di cetak di
Bundukiyyah pada 1530 M.
b.
Hinkalman pada masa 1694 M di
Hamburg ( jerman ).
c.
Meracci pada 1698 M di paduoe
d.
Maulaya Usman di sain Peter
buorgh, Uni Sovyet ( Label Islami )
e.
Terbi etakan di Kazan
f.
Iran pada 1248 H / 1828 kota
Taheran
g.
Ta`di Tabriz pada 1833
h.
Ta`di leipez, Jerman pada 1834.[1]
D. Kemukjizatan Al Qur’an
Al-Qur`an sebagai kitab samawi terakhir yang diberikan kepada Muhammad
sebagai penuntun dalam rangka pembinaan umatnya sangatlah fenomenal. Lantaran
di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan rumit sekaligus luar biasa.
Hal ini lebih disebabkan karena eksistensinya yang tidak hanya sebagai ajaran
keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai
semenjak hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Diantara
nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah
dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik, unik, rumit dan
keluar biasanya tak pelak ia menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya,
yang darinya melahirkan ketakkjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang
ingkar.
Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelkstualitas
manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi
sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran
manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi Al-Qur`an
sebagai kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti
terhadap kebenaran risalah yang dibawa Muhammad. Serentetan nilai Al-Qur`an
yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia
dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan MUKJIZAT.
1.
Pengertian Mukjizat
Kata
“Mukjizat” menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arabأعجز yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”,
sedangkan ة“”
ta’ marbutah pada kata معجزة menunjukkan makna mubalaghoh (superlative)
Menurut kamus besar Purwo Darminto adalah “kejadian ajaib/luar bisaa
yang sukar dijangkau oleh kemampuan manusia”[2].
Sedangkan menurut pakar agama Islam adalah “suatu hal atau peristiwa luar bisaa
yang terjadi melalui seorang yang disebut Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang
di tantangkan pada yang meragukan, untuk melakukan atau mendatangkan hal
serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan tersebut”.[3]
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan bahwa pengertian “Kelemahan” secara umum
ialah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, sehingga nampaklah kemampuan dari
“mu’jis”(sesuatu yang melemahkan). Dan kata I’jas dalam konteks ini adalah
menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan
menampakkan kelemahan orang Arab beserta generasi-generasi setelahnya untuk
menghadapi mu’jizatnya yang abadi( Al-Qur`an).[4]
Dari
definisi tersebut di atas dapat diturunkan beberapa pengertian diantaranya:
a.
Kejadian luar bisaa yang “sukar”
dijangkau oleh kemampuan manusia, pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana
ke-luar bisaaan mukjizat? Dan kata “sukar” pada definissi diatas menimbulkan
probability tentang adanya kemungkinan bahwa manusia akan bisa sampai pada
maqom sukar tersebut, bila demikian masihkah disebut mu’jizat?. Dalam bukunya
yang berjudul “Mukjizat Al-Qur`an” Quraish Shihab menjelaskan bahwa kejadian
luar bisaa yang dimaksud adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan sebab dan
akibat yang terdapat secara umum pada hukum-hukum alam (sunatullah) yang
diketahui oleh manusia[5].
Namun demikian penulis lebih berpendapat bahwa semua keajaiban yang terjadi di
alam termasuk mukjizat semuanya adalah rasional artinya bahwa sebenarnya akal
mampu menerima kebenaran logis terhadap mukjizat. Hal ini didasarkan pada
beberapa ayat dalam Al-Qur`an yang menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang
gaib termasuk konsekuensi dari pahala dan dosa yang akan diterima oleh manusia
besuk di hari pembalasan tetapi kenyataannya banyak manusia tidak percaya,
tepatnya dalam QS: Yunus: 39.[6]
Dalam pengertian lain bahwa pengetahuan manusia tentang hukum sebab-akibat yang
terdapat di alam hanyalah sebagian kecil dari hukum-hukum sebab akibat yang ada
dalam pengetahuan Tuhan. Sebagai contoh adalah untuk mendapatkan hasil angka 7
bisa melalui 4+3 = 7 (hukum alam yang dapat diketahui manusia), sedangkang
masih banyak sebab-akibat dari hasil angka 7 yang tidak dapat diketahui manusia
karena keterbatasan pengindraan. Misalnya 3+3+1=7, (2×2)+3=7, 10-3=7,
100-99+(2×2)+2=7 dst, yang semua sebab-akibat tersebut ditunjukkan oleh Tuhan
maka manusia akan mampu memahaminya. Oleh karena itu termasuk kata “sukar” di
atas kurang tepat. Karena yakin bahwa manusia dibatasi oleh hukum-hukum alam
yang melekat pada dirinya. Tetapi seandainya Allah memberikan penjelasan maka
akal akan mampu menerima kebenaran tersebut, namun kenyataannya Allah tak
memberikan penjelasan karena ada tujuan-tujuan tertentu yang tak mudah kita
pahami.
b. Melemahkan,
istilah ini juga menggoda pada kita untuk mengkaji ulang. Diantara pendapat
datang kaum Sirfah Abu Ishaq Ibrahim An-Nizam dan pengikutnya dari kaum syi’ah
seperti al-Murtadha mengatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur`an adalah dengan cara
shirfah (pemalingan). Artinya bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk
menantang Qur’an, padahal sebenarnya mereka mampu, maka pemalingan inilah yang
luar bisaa yang selanjutnya pendapat ini di habisi oleh Qadi Abu bakar
al-Baqalani ia berkata: “kalau yang luar bisaa itu adalah shirfah maka kalam
Allah bukan mukjizat melainkan Shirfah itu sendiri yang mukjizat” dengan
berlandasan pada QS. Al-Isra’:88.[7]
Berbeda dengan pendapat kaum sirfah, penulis lebih memandang melalui kaca mata
dilalah siyaqiyah, bahwa makna “melemahkan-dilemahkan ” cenderung mengarah pada
konteks menang dan kalah. Hal inilah yang menurut penulis kurang etis. Dan
ternyata kata melemahkan معجزة) يعجز–(أعجز tidak terdapat dalam Al-Qur`an. kalimat
yang digunakan adalah أيت (tanda-tanda) dan بينات (penjelasan) yang dari kedua kata tersebut
menurut Prof. DR. H. Said Aqil Munawar, MA. mempunyai dua pengertian pertama;
pengkabaran Ilahi (QS.3:118, 252/QS.6:4/ QS10:7dan QS.2:159/ QS 3:86/ QS
10:150). Kedua; tanda-bukti yang termasuk digolongkan mukjizat (QS.3:49/
QS.7:126/ QS.40:78/ QS.27:13 dan QS.7:105/ QS.16:44/ QS.20:72).[8]
yang menurut penulis sebenarnya jauh dari makna melemahkan atau bahkan
mengalahkan.
c. Dibawa
oleh seorang nabi. Seandainya peristiwa luar bisaa tersebut terjadi bukan pada
nabi meskipun secara fungsi ada kesamaan dengan mukjizat, bisakah disebut
mukjizat?. Dalam buku yang sama Quraish Shihab menjelaskan, selain yang membawa
nabi kejadian luar bisaa tersebut bukan dinamakan mukjizat. Beliau menambahkan
kalau terjadi pada seseorang yang kelak akan menjadi nabi maka disebut Irhash,
adakalanya terjadi pada hamba Allah yang taat yang disebut karomah, dan apabila
terjadi pada hamba yang durhaka disebut Istidroj (rangsangan untuk lebih
durhaka) atau Ihanah (penghinaan). [9]
Semua peristiwa tersebut adalah merupakan tanda-tanda dan bukti atas kebesaran
Allah agar siapapun yang menyaksikannya baik melalui akal maupun hatinya dapat
beriman kepada Allah.
a)
Sebagai Bukti Kerasulan.
Kata “bukti” menyangkut percaya dan tidak percaya, seandainya seseorang
telah percaya pada rasul bahwa Ia adalah utusan Allah, adakah masih disebut
mukjizat?. Dari definisi mukkjizat, makna “bukti atau tanda” inilah yang paling
utama bukan lemah dan melemahkan karena tujuan risalah (kerasulan) adalah agar
seseorang mampu memahami dan meyakini bahwa risalah tersebut benar-benar dari
Zat yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Adapaun bagi mereka yang sudah percaya
terhadap kerasulan Nabi beserta apa yang disampaikannya yang berupa wahyu dari
Tuhan maka peristiwa luar bisaa tersebut tetap disebut mukjizat. Sebab dimensi
lain makna mukjizat(ketidak mampuan akal) tetap berlaku pada orang yang sudah
percaya tersebut. Oleh karena itu fungsinya disamping sebagai “bukti” juga
merupakan penjelasan dan pemantapan terhadap keyakinan seseorang.
b)
Mengandung Tantangan.
Memang kebanyakan ulama diantara misalnya Syahrur juga melihat QS.
Al-Isra’: 88 mengandung tantangan dan tantangan tersebut berakhir pada
kelemahan mu’jas[10],
namun hemat penulis bahwa sebenarnya Allah tidak hendak menantang orang-orang
kafir. Bagaimana bisa Tuhan menantang mahluknya jelas inpossible, karena maksud
dan tujuannya bukan untuk menantang. Dalam ilmu dilaliyah, conten analisis
perlu meneropong gaya penuturan Autor, misalnya kalimat ” ayo kalau berani !” (
kondisi marah) mempunyai makna tantangan, sedangkan ” ayo kalau berani ”
(kodisi tersenyum) bermakana menguji.
2.
Makna Kemujizatan Al-Qur`an
Berdasarkan sifatnya, mukjizat (Al-Qur`an) yang diberikan kepada nabi
Muhammad SAW. sangatlah berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada
nabi-nabi terdahulu. Jika para nabi sebelumnya bersifat hissiy-matrial
sedangkan Al-Qur`an bersifat maknawi / immateri. Perbedaan tersebut bertolak
pada dua hal mendasar yaitu pertama, para nabi sebelum Muhammad SAW. ditugaskan
pada masyarakat dan masa tertentu. Oleh karenanya mukjizat tersebut hanya
sementara. Sedangkan Al-Qur`an tidak terbatas pada masyrakat dan masa tertentu
sehingga berlaku sepanjang masa. Kedua, secara historis-sosiologis dalam
pemikirannya manusia mengalami perkembangan. Auguste Comte(1798-1857)
–sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- ia berpendapat bahwa pikiran manusia
dalam perkembangannya mengalami tiga fase. Pertama Fase keagamaan, dikarenakan
keterbatasan pengetahuan manusia ia mengembalikan penafsiran semua gejala yang
terjadi pada kekuatan Tuhan atau dewa yang diciptakan dari benaknya. Kedua fase
metafisika, yaitu manusia berusaha menafsirkan gejala yang ada dengan
mengembalikan pada sumber dasar atau awal kejadiannya. Ketiga fase ilmiah,
dimana manusia dalam menafsirkan gejala atau fenomena berdasarkan pengamatan
secara teliti dan eksperimen sehingga didapatkan hukum-hukum yang mengatur
fenomena tersebut[11].
Posisi Al-Qur`an sebagai mukjizat adalah pada fase ketiga dimana
ditengarahi bahwa potensi pikir-rasa manusia sudah luar biasa sehingga bersifat
universal dan eternal.
Umumnya mukjizat para rasul berkaitan dengan hal yang dianggap bernilai
tinggi dan sebagai keunggulan oleh masing-masing umatnya pada masa itu.
Misalnya pada zaman nabi Musa lagi ngeternnya tukang sihir, maka mukjizatnya
sebagaimana tertera dalam QS. Al-a’raf: 103-126, As-Su’ara’: 30-51, dan Thoha:
57-73. pada nabi Isa adalah zaman perdukunan / tabib maka mukjizatnya adalah
seperti pada QS. Ali Imran: 49 dan Al-Maidah: 110. Dan pada zaman Muhammad lagi
marak-maraknya sastra sehingga mukjizat yang mach adalah Al-Qur`an[12].
Dari sinilah sebagian ulama berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur`an yang utama
saat itu adalah kebahasaan dan kesastraannya di samping isi yang terkandung di
dalamnya.
3.
Kemukjizatan Al-Qur`an dari aspek
Bahasa dan Sastra
Dari segi kebahasaan dan kesastraannya Al-Qur`an mempunyai gaya bahasa
yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari
pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam. Usman bin
Jinni(932-1002) seorang pakar bahasa Arab -sebagaimana dituturkan Quraish
Shihab- mengatakan bahwa pemilihan kosa kata dalam bahasa Arab bukanlah suatu
kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah bahasa yang tinggi[13].
Kalimat-kalimat dalam Al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada
fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk
menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi
yang digambarkannya.
Kehalusan bahasa dan uslub Al-Qur`an yang menakjubkan terlihat dari
balgoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan
dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara
Autor(Allah) dan penikmat (umat)[14].
Kajian mengenai Style Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya
Stilistika Al-Qur`an, bahwa pemilihan huruf dalam Al-Qur`an dan penggabungannya
antara konsonan dan vocal sangat serasi sehingga memudahkan dalam
pengucapannya. Lebih lanjut –dengan mengutip Az-Zarqoni- keserasian tersebut
adalah tata bunyi harakah, sukun, mad dan ghunnah(nasal). Dari paduan ini
bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan musik atau irama lagu yang
mengagumkan. Perpindahan dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi
sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat
melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al-Qur`an mempunyai purwakanti
beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam surat Al-Kahfi(18: 9-16) yang
diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang berfariasi, sehingga tak aneh
kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi. Namun
Walid Al-mughiroh membantah karena berbeda dengan kaidah-kaidah puisi yang ada,
lalu ia mengira ucapan Muhammad adalah sihir karena mirip dengan keindahan
bunyi sihir (mantra) yang prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh
Montgomery Watt dalam bukunya “bell’s Introduction to the Qoran” bahwa style
Quran adalah Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena gaya itu
sangat tipis dengan ganyanya tukang tenung, penyair dan orang gila.[15]
Terkait dengan nada dan lagam bahasa ini, Quraish Shihab mngutip pendapat
Marmaduke -cendikiawan Inggris- ia mengatakan bahwa Al-Qur`an mempunyai simponi
yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia
untuk menangis dan bersuka cita. Misalnya dalam surat An-Naazi’at ayat 1-5.
Kemudian dilanjutkan dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata
perpaduan lagam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.[16]
Selain efek fonologi terhadap irama, juga penempatan huruf-huruf
Al-Qur`an tersebut menimbulkan efek fonologi terhadap makna, contohnya
sebagaimana dikutip Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya Najlah “Lughah Al-Qur`an
al-karim fi Juz ‘amma”, bunyi yang didominasi oleh jenis konsonan frikatif
(huruf sin) memberi kesan bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian
pula pengulangan dan bacaan cepat huruf ra’ pada QS. An-Naazi’at menggambarkan
getaran bumi dan langit. Contoh lain dalam surat Al-haqqah dan Al-Qari’ah
terkesan lambat tapi kuat, karena ayat ini mengandung makna pelajaran dan
peringatan tentang hari kiyamat.[17]
Dari pemilihan kata dan kalimat misalnya, Al-Qur`an mempunyai sinonim
dan homonym yang sangat beragam. contohnya kata yang berkaitan dengan perasaan
cinta. علق
diungkapkan saat bertatap pandang atau mendengar kabar yang menyenangkan,
kemudian jika sudah ada perasaan untuk bertemu dan mendekat menggunakan ميل,
seterusnya bila sudah ada keinginan untuk menguasai dan memiliki dengan
ungkapan مودة, tingkat berikutnya محبة, dilanjutkan dengan خلة, lalu الصبابة ,
terus الهوى
, dan bila sudah muncul pengorbanan meskipun membahayakan diri sendiri namanya العشق ,
bila kadar cinta telah memenuhi ruang hidupnya dan tidak ada yang lain maka
menjadi التتيم , yang semua itu bila berujung pada tarap tidak mampu
mengendalikan diri, membedakan sesuatu maka disebut وليه .[18]yang
semua kata-kata tersebut mempunyai porsi dan efek makna masing-masing. Meminjam
bahasanya Sihabuddin disebut lafal-lafal yang tepat makna artinya pemilihan lafal-lafal
tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing. Misalanya, dalam menggambarkan
kondisi yang tua renta (Zakaria) dalam QS. Maryam: 3-6, Wahanal ‘Azmu minni
bukan Wahanal lahmu minni. Juga Wasyta’alar-ra’su syaiba (uban itu telah
memenuhi kepala) bukan Wasyta’alas- syaibu fi ra’si (uban itu ada di kepala).[19]
Masih dalam konteks redaksi bahasa Al-Qur`an berlaku pula
deviasi(penyimpangan untuk memperoleh efek lain) misalnya dalam QS.
Asy-Su’ara’, ayat 78-82. Pada ayat 78, 79 dimulai dengan lafal allazi, pada
ayat 80 dimulai waidza, namun pada ayat 81, 82 kembali dengan allazi, dan fail
pada ayat 78,79,81,82 adalah Allah, sedang pada ayat 80 faiilnya orang pertama
(saya) tentu kalau di’atofkan pada ayat 78,79,81,82 maka terjadi deviasi
pemanfaatan pronomina hua (هو). Lafal yahdiin, yumiitunii wa yasqiin dan yasfiin tanpa
didahului promnomina tersebut. Pengaruh dan efek deviasi yang ditimbulkan
adalah munculnya variasi struktur kalimat sehingga kalimat-kalimat tersebut
tersa baru dan tidak menjemukan[20]
Selain itu keseimbangan redaksi Al-Qur`an telah membuat takjub para
pemerhati bahasa, baik keseimbangan dalam jumlah bilangan kata dengan
antonimnya, jumlah bilangan kata dengan sinonimnya, jumlah kata dengan
penyebabnya, jumlah kata dengan akibatnya, maupun keseimbangan-keseimbangan
yang lain(khusus). Misalnya الحياة dan الموت masing-masing
sebanyak 145 kali. النفع dan الفساد sebanyak 50 kali dan seterusnya. Kata dan sinonimnya misalnya, الحرث dan الزراعة
sebanyak 14 kali,العقل dan النور sebanyak 49 kali dan lain sebagainya. Kata dengan penyebabnya
misalnya, الاسرى (tawanan) dan الحرب sebanyak 6 kali, السلام
dan الطيبات sebanyak 60 kali dan lain-lainnya. Kata dan akibatnya
contohnya, الزكاة dan البركات sebanyak 32 kali,الانفاق dan الرضا sebanyak
73 kali.[21]
Secara
umum Said Aqil merangkum keistimewaan Al-Qur`an sebagai berikut:
a.
Kelembutan Al-Qur`an secara
lafziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasa.
b.
Keserasian Al-Qur`an baik untuk
orang awam maupun cendekiawan.
c.
Sesuai dengan akal dan perasaan,
yakni Al-Qur`an memberi doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran
serta keindahan sekaligus.
d.
Keindahan sajian serta
susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan
tanggapan dan perhatian.
e.
Keindahan dalam liku-liku ucapan
atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya.
f.
Mencakup dan memenuhi persyaratan
global(ijmali) dan terperinci (tafsily).
g.
Dapat memahami dengan melihat
yang tersurat dan tersirat.[22]
Semua data-data yang penulis paparkan, hanyalah sekelumit kandungan
kemukjizatan dari sisi kebahasaan dan tentunya masih banyak hal terkait dengan
kontek ini yang tak mungkin penulis bahas. Singkat kata bahwa ditinjau dari
kebahasaan Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar bisa baik pemilihan kata,
kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang
sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna
yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Sehingga tak heran
bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbul yang sangat
komunikatif lagi fenomenal. Eksistensinya yang sedemikian luarbisa, membuat
bangsa Arab khususnya saat itu bertekuk lutut dan tak mampu berbuat apa-apa.
4.
Kemukjizatan Al-Qur`an dari Aspek
Isyarat Ilmiah.
Selain keistimewaan pada kebahasaan, Al-Qur`an juga mempunyai
isyarat-isyarat ilmiyah yang sebagian ulama menganggap sebagai bentuk
kemukjizatan Al-Qur`an. Diantara isyarat-isyarat itu adalah bagaimana Al-Qur`an
berbicara tentang reproduksi manusia. Setidaknya ada beberapa ayat yang
menjelaskan proses kejadian manusia yang berasal dari Nutfah (air mani), yaitu
surat Al-Qiyamah (75:36 -39):
Artinya : (36) Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu
saja (tanpa pertanggung jawaban)? (37) Bukankah dia dahulu setetes mani
yang ditumpahkan (ke dalam rahim) (38) Kemudian mani itu menjadi segumpal
darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya (39) Lalu Allah
menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.
Surat An-. Najm (53: 45-46):
yìÏÜà)sù ãÎ/#y ÏQöqs)ø9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=sß 4 ßôJptø:$#ur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÍÎÈ ö@è% óOçF÷uäur& ÷bÎ) xs{r& ª!$# öNä3yèøÿx öNä.t»|Áö/r&ur tLsêyzur 4n?tã Nä3Î/qè=è% ô`¨B îm»s9Î) çöxî «!$# Nä3Ï?ù't ÏmÎ/ 3 öÝàR$# y#ø2 ß$Îh|ÇçR ÏM»tFy$# ¢OèO öNèd tbqèùÏóÁt ÇÍÏÈ
‘’Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan
sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam’’
‘’Katakanlah:
"Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan
serta menutup hatimu, siapakah Tuhan selain Allah yang Kuasa mengembalikannya
kepadamu?" perhatikanlah bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan
tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian mereka tetap berpaling (juga).’’
Begitu juga dalam QS. 13:3,
15:19, 16:15, 21:31, 27:61, 31:10, 50:7, 77:27 dan 79:32.
Fakta-fakta
mengenai gunung, baru tersingkap oleh para pakar pada akhir tahun 1960-an,
bahwa gunung mempunyai akar, dan peranannya dalam menghentikan gerakan
menyentak horizontal lithosfer, baru dapat difahami dalam kerja teori lempengan
tektonik(plate tetonics). Hal ini dapat dimengerti karena akar gunung mencapai
15 kali ketinggian di permukaan bumi sehingga mampu menjadi stabilisator
terhadap goncangan dan getaran.[23]
Lebih
lanjut Airy(1855) mengatakan bahwa lapisan di bawah gunung bukanlah lapisan
yang kaku melainkan gunung itu mengapung pada lautan bebatuan yang lebih rapat.
Namun demikian massa gunung yang besar tersebut diimbangi defisiensi massa
dalam bebatuan sekelilingnya di bawah gunung dalam bentuk akar. Akar gunung
memberikan topangan buoyancy serupa dengan semua benda yang mengapung. Ia
menggambarkan kerak bumi yang berada di atas lava dapat dibandingkan dengan
kenyataan sehari-hari yaitu seperti rakit kayu yang mengapung di atas air,
dimana permukaan rakit yang mengapung lebih tinggi dari permukaan lainnya juga
mempunyai permukaan yang lebih dalam. Dengan demikian permukaan bumi tetap
dalam Equilibrium Isostasis, artinya bawa permukaan bumi berada dalam titik
keseimbangan akibat perbedaan antara Volume dan daya grafitasi.[24]
Masih
banyak lagi isyarat-isyarat ilmiyah yang disinggung Al-Qur`an misalnya tentang
kejadian awan, sistem kehidupan lebah, tumbuhan-tumbuhan yang berklorofil dan
seterusnya, yang semua itu merangsang terhadap adanya pembuktian-pembuktian
secara empiris dan rasionalis. Dan semakin bukti-bukti itu terkuak semakin
nyatalah kebenaran Al-Qur`an bahwa ia bukan buatan Muhammad. Bagaimana mungkin
seorang Muhammad yang 14 abad silam tak mengenal pendidikan tidak bisa
baca-tulis mampu menjelaskan hal itu semua.
Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana posisi kebenaran ilmiyah terhadap isyarat-isyarat
ilmiyah Al-Qur`an?. Satu hal yang harus dipahami adalah bahwa Al-Qur`an
bukanlah buku kumpulan teori ilmiyah, ia lebih merupakan suatu petunjuk untuk
menuju pada tujuan yang benar. Apabila kita menganalisa sedikit ayat-ayat
diatas bahwa Al-Qur`an tidak hanya berhenti pada isyarat ilmiyah tetapi lebih
pada bagaimana setelah manusia itu memahami dan mengerti terhadap
isyarat-isyarat ilmiyah tersebut. Adapun ke-ilmiyah-an Al-Qur`an hanya sebatas
juklak agar tujuan-tujuan Tuhan lebih komunikatif dan efektif. Sehingga ada
perbedaan mendasar atas ke-ilmiyah-an Al-Qur`an dan “ke-ilmiyah-an” dalam
pengetahuan manusia. Sehingga dapat di analogkan ke-ilmiyah-an Al-Qur`an adalah
peta dan “ke-ilmiyah-an” manusia adalah proses penelusuran jejak-jejak
tersebut, oleh karenanya hanya bersifat justifikasi andaikata benar. Sebab sevalid
apapun ke-ilmiyah-an manusia ia tetap tunduk pada hukum-hukum dan teori-teori
ke-probabilitas-an manusia yang notabene bersifat serba terbatas.
5.
Kemukjizatan Al-Qur`an Dari Aspek
Kisah-kisah Purba
Diantara hal yang menarik dari Al-Qur`an adalah bahwa Al-Qur`an memuat
beberapa cerita kaum-kaum terdahulu, hingga jauh ke hulu sejarah peradaban umat
manusia yang tak mungkin buku sejarah manapun mampu mengcover secara akurat.
Memang Al-Qur`an tidak memaparkan secara kronologis-histories, karena memang
Al-Qur`an bukanlah buku sejarah. Al-Qur`an menggunakan sejarah purba tersebut
hanya sebagai icon terhadap sebuah fenomena tertentu dengan maksud dan tujuan
tertentu. Sehingga starting pointnya dalam memahami kisah-kisah yang terdapat
dalam Al-Qur`an bukan dari dimensi histories ansih, melainkan dari dimensi
agama kisah merupaka metode Tuhan dalam rangka menyampaikan ajaran yang
terkandung di dalamnya. Bahkan Al-Qur`an juga memberi informasi terhadap
kejadian-kejadian yang bakal terjadi, misalnya kemenangan bangsa Romawi atas
bangsa Persia pada masa sekitar sembilan tahun sebelum peristiwa tersebut
terjadi. Juga cerita tentang datangnya seekor binatang yang dapat
bercakap-cakap menjelang hari kiyamat, yang terdapat dalam surat An-Naml 27:
82.[25]
Artinya :
Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang
melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia
dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.
Manna’Kholil
Khattan menyebutkan macam-macam kisah yang terdapat di Al-Qur`an. Pertama,
kisah-kisah para Nabi dan segala hal yang menyangkut perjuangannya. Seperti
Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, Muhammad SAW. dan seterusnya. Kedua,
kisah-kisah yang berhubungan dengan masa lulu dan orang-orang yang belum bias
dipastikan kenabiaanya. Misalnya kisah beribu-ribu orang yang pergi dari
kampungnya karena takut mati, kisah Talut dan Jalut, dua orang putra Adam,
Ashaabul kahfi, Zulkarnain, ashaabul Sabt, Karun dan lain-lainnya. Ketiga,
kisah yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW.
seperti perang badar, prang uhud, perang Hunain, perang Ahzab, tentang Isra`
dan Mi’raj dan lain-lain.[26]
Sementra
diantara kritikus baik dari orientalis maupun oksidentalis ada yang meragukan.
Salah satunya seperti yang dikutip Manna’Kholil Khattan, bahwa salah satu
kandidat doctor di Mesir mengajukan judul Al Fannul Qasasiy fil Qur`an, yang
intinya dalam disertasi tersebut menyatakan bahwa kisah-kisah dalam Al-Qur`an
merupakan karya seni yang tunduk kepada daya cipta dan kreatifitas
kaidah-kaidah seni, tanpa harus memegangi sisi kebenaran sejarah. Dari
pernyataan ini jelas sekali bahwa ia meragukan kebenaran terhadap kisah-kisah
dalam Al-Qur`an.[27]
Dalam
Al-Qur`an surat Al-Hadid (57) :26 disebutkan:
Artinya :
“Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan kami jadikan kepada
keturunan keduanya kenabian dan Al kitab, Maka di antara mereka ada yang
menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasik”.
Barang kali kita merasa tertohok jika ada orang bertanya kapan dan
dimana Nabi Nuh itu hidup adakah bukti-bukti secara empiris terhadap hal itu?.
Untuk menelusuri pertanyaan ini kita dapat murujuk pada tradisi Islam yaitu
Al-Qur`an-hadis dan sebagainya, tradisi Semitis yang meliputi injil, data
arkeologis dan antropologis.
Al-Qur`an surat 11:44, mengisahkan bahwa perahu Nabi Nuh terdampar
di Maulana Yusuf menafsirkan, gunung
Judy terletak di daerah gunung
Judy. yang meliputi distrik Bohran di Turki; yaitu dekat perbatasan Turki
sekarang dan Irak dan Syiria. Yakni pegunungan besar Plateau Ararat yang
mendomonasi distrik ini.
Dalam teradisi Islam dari Imam Abu al-Fida’ Al-Tadmuri (Mattewhs 1949)
dapat disimpulkan bahwa sejarah Nabi Nuh AS mulai sekitar 6000 tahun yang lalu
atau 4000 SM. Sementara daerah sekitar seperti ayat di atas di huni oleh
penduduk lembah Trigis Hulu atau keturunan mereka. Di samping itu pertemuan
tadisi Islam dan Injil menguatkan hal tersebut. Menurut Al-Tadmuri nabi Nuh
mempunyai tiga putra yaitu Sam, Ham dan Yafat. Menurut tradisi Injil dan Yahudi
putra Nabi Nuh adalah Shem, Ham dan Japhet. Sementara Kanaan masih polemic ada
yang mengatakan termasuk putranya atau cucunya dari Ham, yang jelas masih
keluarga Nabi Nuh.[28]
Para sarjan Yahudi percaya bahwa Sam adalah cikal-bakal kelompok ras
yang umumnya sekarang disebut Timur Tengah. Ham dianggap sebagai nenek moyang
oaring yang tinggal di Afrika Utara sedangkan kanaan sebagai asal-usul
Canaanites yaitu Hittites, Amorites, Jebusites, Hivites, Girghasites dan
Perrizites. Dan Yafat dianggap sebagai bapak dari bangsa yang mendiami daerah
utara dan barat Palestina.
Keterangan yang mirip di tuturkan oleh Al-Tadmuri dalam bukunya Muthir
Al-Gharam Fi Fadl Zuyarat Al-Khalili dengan mengutip riwayat At-Tha’labi bahwa
Sam adalah bapak dari orang Arab, Parsi dan Yunani, Ham adalah bapaknya orang
Negro dan Yafat adalah bapaknya orang Turki, Barbar dan Ya’juj dan Ma’juj.[29]
Dari perkawinan tradisi di atas nampak formasi kehidupan Nabi Nuh
sekaligus mempertegas terhadap kisah yang ada dalam Al-Qur`an bukanlah
mengada-ada. Meskipun dari sudut latar, setting, plot dan alur tidak jelas.
Karena Al-Qur`an tidak hendak me-narasi-kan suatu peristiwa dengan pendekatan
sastra. Dan menurut penulis eksistensinya Al-Qur`an sebagai satu kesatuan yang
tak dapat dipisahkan -terkait dengan masalah kisah-kisah ini- maka bila satu
kisah sudah dapat dibuktikan secara empiris maka ini sekaligus membuktikan
bahwa seluruh kisah dalam Al-Qur`an adalah benar dan non fiktif adanya.
6.
Kemukjizatan Al-Qur`an dari aspek
Tasyri’ (hukum)
Tak kalah menakjubkan lagi ketika Al-Qur`an berbicara tentang
hukum(tasyri’) baik yang bersifat individu, sosial(pidana, perdata, ekonomi
serta politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu
berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup
mereka dalam kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu
direkonstruksi diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan
intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks.
Perkara ini tak berlaku pada Al-Qur`an. Hukum-hukum Al-Qur`an selalu kontekstual
berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan kapanpun karena Al-Qur`an datang dari
Zat yang Maha Adil lagi Bijaksana.
Dalam menetapkan hukum Al-Qur`an menggunakan cara-cara sebgai berikut;
pertama, secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu
dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu’amalat
badaniyah Al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah.sedangkang
perinciannya diserahkan pada As-Sunah dan ijtihad para mujtahid. Kedua, hukum
yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-undang
peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang.
Seperti QS. At-Taubah 9:41. Ketiga, jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum
ini adalah masalah hutang-piutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang
halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang
perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan
perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.[30]
Yang menarik diantara hukum-hukum tersebut adalah bagaimana Tuhan
memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani
dan rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya shalat yang
hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-balig dan tidak boleh ditinggalkan
atau diganti dengan apapun. Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata
gerakan shalat sangat mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat
dilakukan dengan benar dan khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari
segala penyakit yang terkait dengan saraf, kelumpuhan misalnya. Juga shalat
yang kusuk merupakan bentuk meditasi yang luar biasa, sehingga apabila
seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan selamat dari
goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila.
Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar
seperti dalam QS. Al-‘Ankabut 29: 45,
Artinya :
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
yang
kedua perbuatan tersebut merupakan biang kerok penyakit sosial. Semua bentuk
kejahatan sosial seperti politik kotor, korupsi, kriminalitas pelecehan seksual
yang semua itu disebabkan oleh nafsu (potensi) syaitoniyah dan shalat adalah
obat mujarab untuk itu. Contoh lain misalnya Al-Qur`an Ali iIran 2:159 yang
menanamkan sistem hukum sosial dengan berdasar pada azas musyawarah.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap
mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[31].
Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Ayat diatas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan
azaz musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang
dirugikan. Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu
bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan
dengan musyawarah adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat
tetap terjaga. Ayat selanjutnya apabila sudah sepakat dan saling bertanggung
jawab maka bertawakkal kepada Allah. Hal ini mengindikasikan harus adanya
kekuasaan mutlak yang menjadi sentral semua hukum dan sistem tata nilai
manusia.
Demikianlah karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Tuhan yang
selalu menjaga keadilan dan keseimbangan baik individu, sosial dan ketuhanan
yang tak mungkin manusia mampu menciptakan hukum secara kooperatif dan
holistic. Oleh karena itu tak salah bila seorang Rasyid Rida -sebagaimana
dikutip oleh Quraish Shihab- mengatakan dalam Al-Manarnya bahwa petunujuk
Al-Qur`an dalam bidang akidah, metafisika, ahlak, dan hukum-hukum yang
berkaitan dengan agama, sosial, politik dan ekonomi merupakan pengetahuan yang
sangat tinggi nilainya. Dan jarang sekali yang dapat mencapai puncak dalam
bidang-bidang tersebut kecuali mereka yang memusatkan diri secara penuh
danmempelajarinya bertahun-tahun. Padahal sebagaimana maklum Muhammd sang
pembawa hukum tersebut adalah seorang Ummy dan hidup pada kondisi dimana ilmu
pengetahuan pada masa kegelapan.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Quran
turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari 17 Ramazan tahun 41 dari kelahiran
Nabi sampai 9 Zulhijjah Haji wada`tahun 63 dari kelahiran Nabi atau 10 H
Al-Quran turun melalui tiga tahap yaitu Al Quran turun sekaligus
dari Allah ke Lukh mahfudh, Al- Quran turun dari laukh mahfudh ke bait Al-
izzah dan Al-Quran turun dari bait Al- izzah ke hati Nabi melalui perantara
Jibril dengan berangsur-angsur, kadang satu ayat, dua ayat, bahkan satu surat
Berbagai metode penulisan Al
Qur’an dari masa ke masa dilakukan untuk menjaga keaslian Al Qur’an
hingga akhir zaman. Menanggapi masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan
para ulama, penulis lebih cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada
bahwa kata “mukjizat” tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”.
Bukti-bukti inilah yang luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab
ketika itu bertekuk lutut atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya.
Diantara bukti-bukti yang luar biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya,
isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya.
Ditilik dari kebahasaan,
Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan dari
pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap
nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek
fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat
makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara
jumlah bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya
sebagai seambrek simbul yang sangat kominikatif lagi fenomenal.
Tak kalah serunya Al-Qur`an
dilihat dari demensi ilmiyah. Bagaimana Al-Qur`an mendiskripsikan tentang
reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta frora dan faunanya
tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu dapat dibuktikan
keabsahannya melalui kacamata ilmiyah, sehingga menujukkan bahwa Al-Qur`an
sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya kisah-kisah misterius
dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total
tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Bahwa
peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar manusia mampu
menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah metode yang dipilih
Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
Keistimewaan Al-Qur`an yang
paling esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif, komprehensif dan
holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial, pilitik dan ekonomi
yang secara umum bertolak pada azaz keadilan dan keseimbangan, baik secara
jasmani dan rohani, dunia dan akhirat.
[2]Dekdikbud, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, hal 596, Balai Pustaka Jakarta, Cet. Ke II 1989
[4] Manna’ Khalil
al_Qattan, Studi Ilmu Qur’an ( terjamahan dariمباحث
في علوم القرآن ), Litera Antar
Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998 hal. 371
[6] Dalam Al-quran versi
مجمع الملك المدينة المنورة diterjemahan . Padahal belum datang kepada mereka penjelasannya
, hal ini mengandung arti bahwa sebenarnya akal manusia mampu menerima
kebenaran atas ayat-ayat Allah khususnya yang terkait dengan al-quran sebagai
mukjizat atas isi dan susunan bahasanya. Karena dalam hal ini bahwa
keluarbiasaan tersebut berlaku di alam untuk manusia.
[8]
Prof. DR. H. Said Aqil Munawar,
MA, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press Jakarta,
Cetakan ke 2 Agustus 2002, hal. 30
[10] Lih. M. Syahrur
dalam bukunya al-Kitab wa al-Quran (qiraatun mu’sharatun), Syarikah
Al-matbuu’ah littauzii’ wa an-nasyr Beirut Libanon cetakan ke VI 2000. hal 179
[15]
Lihat Shihabuddin Qulyubi,
Stilistika Al-Quran, Titan Ilahi Pers yogyakarta cetakan 1 November 1997, hal.
39-41
[23]
Zaghul Raghib Muhammad Al Najar,
Mukjizat Al-Qur`an dan As-Sunah tentang IPTEK, GP Jakarta cet. Ke IV 1999, hal
122
[26] Manna’ Khalil
al_Qattan, (Studi Ilmu Qur’an مباحث في علوم القرآن terjemahan
dari ), Litera Antar Nusa dan Pustaka Ilmiyah, IKAPI Yogyakarta, cetakan V 1998
hal. 436
[31] Maksudnya urusan
peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi dan
hal-hal kemasyarakatan lainnya. Terjemahan Al-quran versi مجمع الملك المدينة المنورة 1418. hal. 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar