BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di antara kitab-kitab yang sangat
populer dalam dunia filsafat Islam bahkan dalam lingkungan filsafat Kristen di
zaman pertengahan adalah “Tahafut al-Falasifah” karya Imam Al-Ghazali dan kitab
“Tahafut at-Tahafut” karya Ibn Rusyd. Dua kitab tersebut sangat erat kaitannya
sehingga yang satu tidak disebut tanpa lainnya, terutama kitab yang
terakhir ini yang di dalamnya Ibn Rusyd menangkis serangan al-Ghazali
paragraf demi paragraf. Kitab yang pertama ditulis pada tahun 484 H, sedangkan
kitab yang kedua ditulis lebih kurang seratus tahun sesudah itu.
Al Ghazali, dalam penutup “Tahafut
al-Falasifah” dengan uslub dialogis mengkafirkan para filosof dan keharusan
memberi hukuman mati bagi siapa yang menganut aqidah mereka itu. Karena mereka
menyimpang dalam tiga perkara: (1) pandangannya tentang keqadiman alam. (2)
pandangannya bahwa pengetahuan Tuhan itu tidak menjangkau “al Juziat al
hadisah min al asykhas, partial yang merupakan ciptaan baru dari suatu komponen
dan, (3) pandangannya tentang kebangkitan rohani dan jasad dan penghimpunannya
kelak di akhirat.[1]
Pandangan-pandangan al-Ghazali
seperti yang disebutkan di atas mendapat sanggahan/kritikan dari Ibn Rusyd
sekaligus sebagai pembelaan terhadap filosof, dalam karyanya yang terkenal
“Tahafut al-Tahafut”. Uraian mengenai sanggahan Ibn Rusy dipandangan –
pandangan tersebut dan pembelaan terhadap parafilosof menjadi sangat menarik
karena akan menyuguhkan kejelasan mengenai kedudukan filsafat dalam pemikiran Islam. Pemikiran filosofis
al-Ghazali cenderung untuk disepakati mempengaruhi belahan Timur Dunia Islam sampai dewasa
ini dan dituding sebagai biang keladi redupnya kreatifitas dan dinamika dalam
berfilsafat. Sementara itu pemikiran filosofis Ibn Rusyd dimulai diselidiki dan
disepakati mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam pemikiran Barat sejak abad
pertengahan.[2]
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kritik dan argumentasi Ibnu Rusyd atas Al – Ghazali?
2. Bagaimana kontekstualisasi pemikiran Ibnu Rusyd
terhadap problematika sosial keagamaan?
BABA II
PEMBAHASAN
A. Kritik dan argumentasi Ibnu Rusyd terhadap Al –
Ghazali
Sebagaimana telah diketahui bahwa
al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga hal: (1) Qadimnya Alam, (2)
Tuhan tidak mengetahui juz’iyat
dan (3) kebangkitan dan pengumpulan jasad hari kiamat.[3]
1.
Keqadiman/kekekalan
Alam
Menanggapi
kritikan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mengarang kitab Tahufut- al-Tahafut. Pertama,
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an. Menurut Ibn Rusyd, konsep
Al-Ghazali tentang alam, bahwa alam mempunyai permulaan dalam zaman
mengandung arti, ketika Tuhan menciptakan alam tidak ada sesuatu disamping
Tuhan, Tuhan ketika itu dalam kesendiriannya dan karenanya Tuhan menciptakan
alam dari tiada atau nihil. Al – Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda
dari konsepsi yang dimiliki para filsuf muslim. Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis yang mengatakan bahwa dunia ini kekal
dan diciptakan lewat proses emanasi.[4] Bagi para filsuf
muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami mereka sebagai
alam yang ada dengan sendirinya.[5]
Konsep Al-Ghazali kata Ibn Rusyd tidak sesuai dengan kandungan Al-Qur’an.
Didalam Al-Qur’an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada
sesuatu disampingnya. Ayat 7 dari surat Hud mengatakan:
uqèdur“Ï%©!$#t,n=y{ÏNºuq»yJ¡¡9$#uÚö‘F{$#ur’ÎûÏpGÅ™5Q$ƒr&šc%Ÿ2ur¼çmä©ötã’n?tãÏä!$yJø9$#öNà2uqè=ö7uŠÏ9öNä3•ƒr&ß`|¡ômr&WxyJtã3úÈõs9ur|Mù=è%Nä3¯RÎ)šcqèOqãèö6¨B.`ÏBω÷ètÏNöqyJø9$#£`s9qà)u‹s9tûïÏ%©!$#(#ÿrãxÿŸ2÷bÎ)!#x‹»ydžwÎ)ÖósÅ™×ûüÎ7•BÇÐÈ
Artinya: “Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah):
"Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya
orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir
yang nyata".
Jelas
disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah
ada unsur lain disamping Tuhan, yaitu air. Selanjutnya ayat 30 dari surat
Al-Anbiya’ mengatakan:
óOs9urr&ttƒtûïÏ%©!$#(#ÿrãxÿx.¨br&ÏNºuq»yJ¡¡9$#uÚö‘F{$#ur$tFtR%Ÿ2$Z)ø?u‘$yJßg»oYø)tFxÿsù($oYù=yèy_urz`ÏBÏä!$yJø9$#¨@ä.>äóÓx«@cÓyr(Ÿxsùr&tbqãZÏB÷sãƒÇÌÉÈ
Artinya:Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?Ayat tersebut mengandung arti bahwa langit dan bumi
pada mulanya berasal dari unsur yang satu, kemudian menjadi dua benda yang
berlainan.[6] Dan (
Q. S. al- Fushiat ayat 11 ) yang artinya “kemudian
Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan uap”. Benda
– benda lain seperti air dan uap menurut Ibnu Rusyd merupakan cikal bakal
terjadinya alam.[7] Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang
pendapat Al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis
serta menegaskan bahwa pendapat Al-Ghazali tidak sesuai dengan kandungan
Al-Qur’an. Yang sesuai dengan kandungan Al-Qur’an sebenarnya adalah konsep
Al-Farabi, Ibn Sina, dan filusuf-filusuf lain. Disamping
itu, kata Khalaqa dalam Al-Qur’an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan
penciptaan bukan dari “tiada”, seperti yang dikatakan Al-Ghazali, tetapi dari
“ada”, seperti yang dikatakan filosof-filosof (Q.S. Al – Mukminun : 12 )
ô‰s)s9ur$oYø)n=yzz`»|¡SM}$#`ÏB7's#»n=ß™`ÏiB&ûüÏÛÇÊËÈ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah”.
Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah. Manusia
didalam al-Qur’an diciptakan bukan dari “tiada” tetapi dari sesuatu yang “ada”,
yaitu intisari tanah seperti disebut oleh ayat diatas. Ibn Rusyd memang tidak
menerima konsep penciptaan dari tiada. “tiada”, kata ibnu rusyd tidak bisa
berubah menjadi “ada”, yang terjadi , yang “ada” berubah menjadi “ada” dalam
bentuk lain. Contohnya, adanya bumi dan langit, ‘’ada’’ yang berasal dari
bentuk materi asal yang empat (api,udara,air,dan tanah) diubah Tuhan menjadi
“ada” dalam bentuk langit dan bumi. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun
langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis)[8]
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibnu rusyd tidak
membawa kepada ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafah bukan hanya
berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang
diciptakan dalam keadaan terus-menerus.[9]
Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta,
sedangkan alam qadim berarti alam diciptakan. Dengan demikian sungguhpun alam
qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan. Alam yang terus menerus
dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada sebagaimana yang digambarkan oleh
Al-Qur’an ayat 47-48 Surat Ibrahim.
(#þqä9$s)sùß`ÏB÷sçRr&ÈûøïuŽ|³t6Ï9$uZÎ=÷WÏB$yJßgãBöqs%ur$uZs9tbr߉Î7»tãÇÍÐÈ$yJèdq礋s3sù(#qçR%s3sù
šÆÏBtûüÅ3n=ôgßJø9$#ÇÍÑÈ
Artinya: Maka Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan
menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha perkasa,
lagi mempunyai pembalasan. (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi
yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar)
berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan
bahwa langit dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain. konsep
ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur
susunannya dan menjadi materi asal api, udara air, dan tanah kembali. Dari
keempat unsur ini, Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi
dan langit akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi
dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi
pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus
menerus adalah sesuai dengan kandungan Al-Qur’an.[10]
Jadi,
Al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filosof karena
pandangannya tentang qadimnya alam. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan
Al-Ghazali memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat Al-Qur’an mengenai
penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah pendapat filosof dengan Al-Qur’an,
tetapi pendapat filosof dengan pendapat Al-Ghazali.
2.
Allah tidak
mengetahui perincian yang terjadi di alam
Menurut
Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat
(perincian) terhadap apa yang ada di alam. Pernyataan ini menurut Al-Ghazali
jelas-jelas menunjukkan ketidak berimanan mereka. Sebaliknya yang benar, kata
Al-Ghazali adalah Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.[11]
Dalam rangka menangkis serangan Al- Ghazali terhadap para filsuf muslim,
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa filusuf muslim tidaklah mempersoalkan apakah tuhan
mengetahui hal – hal yang juz’i ( perincian yang terjadi ) pada alam semesta
ini. Para filsuf muslim berpendapat bahwa Tuhan mengetahui hal – hal yang
bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan adalah bagaimana cara
Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu.
Menurut Ibnu Sina, Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i dengan juz’i-Nya
dan mengetahui hal-hal yang kully dengan kully-Nya. Para filsuf
muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal- hal yang bersifat juz’i
itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal – hal yang demikian. Para
filosof, kata Ibnu Rusyd telah menarik garis pemisah antara pengetahuan Allah
dan pengetahuan manusia, yakni kedua macam pengetahuan ini berbeda secara
esensial. karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek ( akibat dari
memperhatikan hal – hal yang bersifat juz’i ) , sedangkan pengetahuan
Allah merupakan sebab, yakni sebab bagi
munculnya hal – hal yang bersifat juz’i itu. Selain itu, ketidaksamaan itu
tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yakni semenjak
azali tuhan mengetahui hal – hal yang bersifat juz’i di alam semesta ini,
betapa kecilnya hal tersebut. Manusia tidak mengetahui pengetahuan sama sekali,
kemudian secara berangsur – angsur memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan
bagian demi bagian secara seksama. Dari itu, kata Ibnu Rusyd, siapa saja yang
menyamakan dua macam ilmu atau pengetahuan ini berarti ia telah mempertemukan
hal-hal yang saling bertentangan dan mengkiaskan yang ghaib dengan yang nyata.
Sikap ini tidak benar dan jahil.[12]
Dengan kata
lain bahwa segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui oleh Tuhan
sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam bentuknya yang konkrit.
Karena ilmu-Nya terhadap sesuatu itu adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal
tersebut. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau cara yang ditempuh Tuhan
untuk mengetahui sesuatu tidak seperti cara yang ditempuh oleh makhluk-Nya itu
sendiri.[13]
3.
Kebangkitan Jasmani
Dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menunjukan kepada filosof yang
mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud
rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, mereka dan para
penganut pendapat tersebut dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena dalam
al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan
jasmani nanti di surga.
Al-Ghazali
menolak pendapat filosof yang mengatakan bahwa pada hari kiamat nanti hanya
jiwa (roh) saja yang dibangkitkan, sedangkan badan atau jasad tidak. Menurutnya
bahwa yang dibangkitakan nanti adalah jiwa dan badan, sehingga pahala dan
hukuman pun ada yang bersifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani
(spiritual). Bukan seperti yang dikatakan oleh filosof bahwa pahala dan hukuman
itu hanya bersifat spiritual dan hanya diterima oleh rohani.
Menurut Ibnu
Rusyd tidaklah benar apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa filosof – filosof
mengingkari kebangkitan jasmani.[14]
Kebangkitan jasmani sudah tersiar sekurang – kurangnya seribu tahun yang lalu
(dari masa Ibnu Rusyd), sedangkan filsafat kurang dari masa tersebut, sebab
orang pertama yang mengatakan adanya kebnagkita jasmani ialah nabi – nabi Bani
Israel sesudah Nabi Musa a.s.
Ibnu Rusyd
juga menjelaskan bahwa filosof sebenarnya tidak menolak adanya kebangkitan
jasmani, bahkan semua agama mengakui adanya kehidupan di akhirat. Hanya saja,
kehidupan di akhirat menurut filosof itu tidak sama dengan kehidupan didunia.
Hal ini sesuai dengan hadis: “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat
mata, tidak pernah didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran”. Dan
ucapan Ibnu Abbas:” Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat
keduniaan kecuali nama saja.” berarti bahwa di dalam surga nanti manusia tidak
dalam wujud jasad.
Lebih lanjut
Ibn Rusyd menganalogikan antara tidur dan kematian. Menurutnya, bahwa perbandingan
antara tidur dan kematian itu merupakan bukti yang terang untuk mengatakan
bahwa jiwa itu hidup terus. Karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat
tidur dengan cara tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau
kehidupan jiwa tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya keadaan jiwa
pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur. Perbandingan ini menurutnya
dapat menunjukkan bahwa antara jiwa dan badan dapat dipisahkan.
Ibnu Rusyd
selanjutnya menuduh Al-Ghazali sebagai orang yang tidak konsisten. Dalam
bukunya Tahafut Al-Falasifah al-Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak
hanya badan, tetapi juga jiwa. Tetapi dalam bukunya mengenai tasawuf, ia
mengatakan bahwa kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk
rohani dan tidak berbentuk jasmani. Oleh karena itu tidak ada kesepakatan
(ijma’) dalam hal ini. Dengan itu maka filosof yang mengatakan adanya
kebangkitan dalam bentuk rohani tidaklah dapat dikafirkan. Namun demikian Ibn
Rusyd berkesimpulan bahwa bagi orang awam soal pembangkitan di akhirat itu
perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, untuk lebih mendorong mereka untuk
melakukan perbuatan yang baik dan menjahui perbuatan jelek.[15][15]
B. Kontekstualisasi
Pemikiran Ibnu Rusyd terhadap Problematika Sosial – Keagamaan
1.
Rules of Dialogue
Sumbangan lain
yang diberikan ibnu Rusyd adalah
pandangannya mengenai cara membangun rules of dialogue dalam upaya
memahami orang lain di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistimologis[16]yaitu:
Pertama, keharusan untuk
memahami yang lain dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat
dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu –
ilmu yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi
kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antar
dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd memberi pendapat
bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi
harmoni diantara keduanya, harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu
adanya perbedaan harus kita hargai.
Ketiga,mengembangkan sikap
toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara - cara Al-Ghazali menguliti para filosof
tidak dengan tujuan mencari kebenaran. “Tujuan saya,” kata Al-Ghazali, “adalah
mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil.” Ibnu Rusyd menjawab, “Ini tidak
sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak
lain adalah mencari kebenaran bukan menyebarkan keraguan.”
Terlepas dari perbedaan
itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai nilai
beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik
di masa lalu itu pula pernah mengantarkan kejayaan islam di abad pertengahan.
2. Wawasan Keagamaan
Terdapat empat hal dari
pandangan pandangan Ibnu Rusyd yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan
wawasan keagamaan. Pertama,Pluralisme
dalam ijtihad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pintu ijtihad ditutup oleh
sebagian kalangan dan dipersempit dari persoalan hukum hanya menjadi persoalan
hukum agama. Akibatnya, sikap taklid terhadap warisan hukum -hukum fikih yang
telah terkodifikasi menjelma begitu saja menjadi wawasan sosial dan pandangan
hidup.
Sikap taklid tersebut
juga berawal dari kaburnya pemahaman tentang apa yang disebut agama (al-din)
dan pemahaman agama (al-fikr al-diny).[17]
Melihat fenomena ini,
Ibnu Rusyd mencoba kembali batas batas yang selama ini di kekang. Dengan
bersandar bahwa pemikiran keagamaan bisa berkembang sesuai dengan perubahan
ruang dan waktu, ia mengudar artefak-artefak hukum fikih dari berbagai mazhab,
menganalisisnya dengan model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar
perbedaan setiap mazhab dalam menggali dalil – dalil yang memproduk suatu hukum,
kemudian menembus jantung hukum fikih itu sendiri, yaitu Al- Qur’an dan sunnah.
Dari setiap ijtihad
fikih dua elemen penting yang patut diperhatikan adalah objektifikasi dan
pertimbangan dimensi moral etiknya. Berkenaan dengan pendapat orang lain Ibnu
Rusyd membuang jauh-jauh kebenaran dalam setiap pendapat dan selalu mengajak
yang lain untuk menempatkan pendapat sesuai dengan konteksnya. Berijtihad
berarti meniscayakan untuk membuka kritik dan pembenahan. Kesalahan yang
terjadi dalam proses pergulatan akal jauh lebih baik dari sekedar menerima
kebenaran dengan tanpa proses apapun.
Kedua, kebebasan berfikir dan tradisi kritik Ibnu Rusyd adalah maskot kebangkitan
filsafat dan rasionalisme Islam. Meskipun hidup dalam situasi kegelapan dan
terpasungnya kebebasan berfikir, Ibnu Rusyd justru dengan lantang mengatakan
bahwa rasionalisme dan filsafat sejajar dengan syariat. Dengan fisafat manusia
mampu menemukan keagungan tuhan melalui olah cakrawala atas olah ciptaannya.
Ibnu Rusyd menjadi
orang yang pertama kali mengkaji, menganalisis, menjabarkan serta mengomentari
filsafat Aristoteles secara detail dan gamblang. Menurut Muhammad Arkoun Ibnu
Rusyd berhasil menyeimbangkan akal dan iman. Dihadapan keluhuran tradisi
keagamaan dan tradisi filsafat, pandangan Ibnu Rusyd telah mengenalkan kepada
kita mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam
ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif dalam
memelihara hak manusia untuk mengkritik dan bertanya.
Menurutnya, nilai
filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan
menafsirkan Al – Qur’an sebagai kitab teks yang perlu diberi interpretasi
kontekstual. Islam sendiri tidak melarang seseorang untuk berfilsafat, bahkan
di Al- qur’an banyak terdapat ayat yang memerintahkan umatnya untuk mempelajari
filsafat. Takwil ( penafsiran ) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk
menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta teks Al – Qur’an, ia
memaparkan bahwa takwil yang dimaksud disini adalah meningglkan arti harfiahnya
dan mengambil arti majasinya ( analogi ). Hal ini pula yang dilakukan para
ulama klasik pada periode awal dan pertengahan.
Sebagai ilmu kritis,
filsafat memang bagaikan anjing menggonggong, mengganggu dan menggigit.
Berfilsafat berarti selalu merasa tidak puas lantas membuka diri untuk menerima
perdebatan dialektis. Berbeda dengan agama, filsafat selalu mempertanggungjawabkan setiap
keputusannya secara rasional. Dan sejarah peradaban membuktikan, sebuah bangsa
yang menjadikan filsafat sebagai bagian terpenting dalam proses pendewasaan
bangsa akan relative lebih siap untuk maju di berbagai sektor kehidupan.
Ketiga, dialog antar agama,
Ibnu Rusyd mengatakan perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk melakukan
dialog. Apabila kita menemukan kebenaran dari agama lain, kita patut menerima
dan menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka kita patut
memperingatkan dan memaafkannya. Memang, salah satu problem umat beragama
adalah bagaimanana berhubungan dengan umat agama lain. Dalam konteks islam,
fikih yang tersedia mempunyai dilemanya tersendiri sehingga baik secara
eksplisit maupun implisit telah menebarkan kecurigaan terhadap agama lain.[18] Dialog
antar umat agama sekarang ini semakin dirasa penting seiring meluasnya aksi
kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya kesadaran agama dalam masyarakat
dapat menjadi faktor pemersatu sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat
pemecah belah. Sosiolog muslim, Ibnu Kaldun, mengatakan perasaan seagama memang
diperlukan, tetapi tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan
sosial (social belonging).
Untuk itu, setiap
pemeluk agama perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat serta mendengarkan
pandangan mitra dialog secara terbuka tanpa disertai
dengan penilaian apriori. Melaui dialog, setiap pemeluk agama belajar dari
pandangan dan pengalaman satu sama lain, karena salah satu fungsi utama agama.
Jadi, manusia dapat meraih kebenaran melalui pikirannya sendiri (mandiri)
setelah ia berhasil melepaskan diri dari sifat – sifat hewani. Tingkatan ini
oleh Ibnu Bajah disebut dengan istilah mutawwahid. Mutawwahid dapat diartikan
sebagai penyendirian. Mutawahid disini berarti hidup menyendiri sambil
merenungkan berbagai ilmu teoritis. Dengan cara begitu, ia dapat berhubungan
dengan al aql al-fa’al (ful force mind).
Keempat, control atas kebijakan
publik. Menurut Ibn Rusyd, islam tidak mempunyai banyak pemikiran tentang
filsafat politik, sementara perebutan kekuasaan amat dahsyat terjadi. Oleh
karena itu, dengan mendasarkan pada
filsafat politik Plato, ia menghendaki seorang pemimpin Negara juga seorang
filsuf.
BAB III
PENUTUP
Telah disebutkan bahwa
al-Ghazali telah menghukumi kafir terhadap para filosof-filosof dalam tiga
masalah. Keputusan al-Ghazali tersebut tidak dibenarkan oleh Ibnu Rusyd.
Pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani tidak beralasan karena masalah
ini bagi para filosof adalah persoalan teori. Pengkafiran dalam masalah tidak
mengetahuinya Tuhan terhadap hal-hal yang kecil tidak tepat karena masalah ini
tidak menjadi pendapat-pendapat filosof. Pengkafiran dalam masalah qadimnya
alam tidak juga tepat, karena pengertian qadimnya alam tidak sama dengan apa
yang dipahami oleh ulama-ulama Kalam. Sedangkan kontekstualisasi Ibnu Rusyd
dalam bidang sosio-agama yaitu Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan
nilai nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Ibnu Rusyd juga
senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan, seperti Pluralisme
dalam berijtihad, kebebasan untuk berfikir, beliau juga mengadakan dialog antar
umat beragama bertujuan untuk mencegah kesalahpahaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin
Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, ( Jakarta : Raja Grafindo
Al-Ahwany Fuad, Dalamsegi-segi PemikiranFilsafatDalam
Islam, Ahmad
Al-Ghazali, Tahafut
al-falasifah, (TahqiqSulaiman Dunia, Kairo: Dar al Ma’arif, 1966), Ahmad
Bakry Hasbullah,Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam,
(Jakarta: Tintamas, 1984),
Daudy (edt.) Jakarta: BulanBintang, 1984.
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka
Setia, 2009
Persada,1993)
HanafAhmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1999),
leaman Oliver, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali,
1989)
NasutionHarun, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UII Press, 1979)
----------------------Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
SunaryaYaya, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Arfino
Raya ,2012)
supenaIlyas, Filsafat Islam, (Semarang:
Walisongo PRESS, 2002).
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004)
[1] Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, (TahqiqSulaiman Dunia,
Kairo: Dar al Ma’arif, 1966), hal. 307-308
[2]Ahmad Fuad
Al-Ahwany, Dalamsegi-segi PemikiranFilsafatDalam Islam, Ahmad
Daudy (edt.) (Jakarta: BulanBintang, 1984), hal. 66.
[3] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UII
Press, 1979), hlm. 65.
[4] Oliver leaman,
Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.56.
[5] Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 232.
[6] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, ( Jakarta :
Raja Grafindo Persada,1993), hlm. 127.
[16]Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.231
Tidak ada komentar:
Posting Komentar