Rabu, 07 Oktober 2015

KOMENTAR/KRITIK IBNU RUSYD TERHADAP AL GHAZALI







BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Di antara kitab-kitab yang sangat populer dalam dunia filsafat Islam bahkan dalam lingkungan filsafat Kristen di zaman pertengahan adalah “Tahafut al-Falasifah” karya Imam Al-Ghazali dan kitab “Tahafut at-Tahafut” karya Ibn Rusyd. Dua kitab tersebut sangat erat kaitannya sehingga  yang satu tidak disebut tanpa lainnya, terutama kitab yang terakhir ini yang di dalamnya Ibn Rusyd menangkis serangan  al-Ghazali paragraf demi paragraf. Kitab yang pertama ditulis pada tahun 484 H, sedangkan kitab yang kedua ditulis lebih kurang seratus tahun sesudah itu.
Al Ghazali, dalam penutup “Tahafut al-Falasifah” dengan uslub dialogis mengkafirkan para filosof dan keharusan memberi hukuman mati bagi siapa yang menganut aqidah mereka itu. Karena mereka menyimpang dalam tiga perkara: (1) pandangannya tentang keqadiman alam. (2) pandangannya bahwa pengetahuan Tuhan itu tidak menjangkau  “al Juziat al hadisah min al asykhas, partial yang merupakan ciptaan baru dari suatu komponen dan, (3) pandangannya tentang kebangkitan rohani dan jasad dan penghimpunannya kelak di akhirat.[1]
Pandangan-pandangan al-Ghazali seperti yang disebutkan di atas mendapat sanggahan/kritikan dari Ibn Rusyd sekaligus sebagai pembelaan terhadap filosof, dalam karyanya yang terkenal “Tahafut al-Tahafut”. Uraian mengenai sanggahan Ibn Rusy dipandangan – pandangan tersebut dan pembelaan terhadap parafilosof menjadi sangat menarik karena akan menyuguhkan kejelasan mengenai kedudukan  filsafat dalam pemikiran Islam. Pemikiran filosofis al-Ghazali cenderung untuk disepakati mempengaruhi  belahan Timur Dunia Islam sampai dewasa ini dan dituding sebagai biang keladi redupnya kreatifitas dan dinamika dalam berfilsafat. Sementara itu pemikiran filosofis Ibn Rusyd dimulai diselidiki dan disepakati mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam pemikiran Barat sejak abad pertengahan.[2]
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana kritik dan argumentasi Ibnu Rusyd atas Al – Ghazali?
2.    Bagaimana kontekstualisasi pemikiran Ibnu Rusyd terhadap problematika sosial keagamaan?






BABA II
PEMBAHASAN
A.  Kritik dan argumentasi Ibnu Rusyd terhadap Al – Ghazali
Sebagaimana telah diketahui bahwa al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga hal: (1) Qadimnya Alam, (2) Tuhan tidak mengetahui juz’iyat  dan (3) kebangkitan dan pengumpulan jasad hari kiamat.[3]
1.      Keqadiman/kekekalan Alam
Menanggapi kritikan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mengarang kitab Tahufut- al-Tahafut. Pertama, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Menurut Ibn Rusyd, konsep  Al-Ghazali tentang alam, bahwa alam mempunyai permulaan dalam zaman mengandung arti, ketika Tuhan menciptakan alam tidak ada sesuatu disamping Tuhan, Tuhan ketika itu dalam kesendiriannya dan karenanya Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil. Al – Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf muslim. Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis yang mengatakan bahwa dunia ini kekal dan diciptakan lewat proses emanasi.[4] Bagi para filsuf muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya.[5] Konsep Al-Ghazali kata Ibn Rusyd tidak sesuai dengan kandungan Al-Qur’an. Didalam Al-Qur’an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu disampingnya. Ayat 7 dari surat Hud mengatakan:
uqèdurÏ%©!$#t,n=y{ÏNºuq»yJ¡¡9$#uÚöF{$#urÎûÏp­GÅ5Q$­ƒr&šc%Ÿ2ur¼çmä©ötãn?tãÏä!$yJø9$#öNà2uqè=ö7uŠÏ9öNä3ƒr&ß`|¡ômr&WxyJtã3úÈõs9ur|Mù=è%Nä3¯RÎ)šcqèOqãèö6¨B.`ÏBÏ÷ètÏNöqyJø9$#£`s9qà)us9tûïÏ%©!$#(#ÿrãxÿŸ2÷bÎ)!#x»ydžwÎ)֍ósÅ×ûüÎ7BÇÐÈ
Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada unsur lain disamping Tuhan, yaitu air. Selanjutnya ayat 30 dari surat Al-Anbiya’ mengatakan:
óOs9urr&ttƒtûïÏ%©!$#(#ÿrãxÿx.¨br&ÏNºuq»yJ¡¡9$#uÚöF{$#ur$tFtR%Ÿ2$Z)ø?u$yJßg»oYø)tFxÿsù($oYù=yèy_urz`ÏBÏä!$yJø9$#¨@ä.>äóÓx«@cÓyr(Ÿxsùr&tbqãZÏB÷sãƒÇÌÉÈ
Artinya:Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?Ayat tersebut mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu, kemudian menjadi dua benda yang berlainan.[6] Dan ( Q. S. al- Fushiat ayat 11 ) yang artinya “kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan uap”. Benda – benda lain seperti air dan uap menurut Ibnu Rusyd merupakan cikal bakal terjadinya alam.[7] Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat Al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis serta menegaskan bahwa pendapat Al-Ghazali tidak sesuai dengan kandungan Al-Qur’an. Yang sesuai dengan kandungan Al-Qur’an sebenarnya adalah konsep Al-Farabi, Ibn Sina, dan filusuf-filusuf lain. Disamping itu, kata Khalaqa dalam Al-Qur’an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari “tiada”, seperti yang dikatakan Al-Ghazali, tetapi dari “ada”, seperti yang dikatakan filosof-filosof (Q.S. Al – Mukminun : 12 )
ôs)s9ur$oYø)n=yzz`»|¡SM}$#`ÏB7's#»n=ß`ÏiB&ûüÏÛÇÊËÈ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah”.
Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah. Manusia didalam al-Qur’an diciptakan bukan dari “tiada” tetapi dari sesuatu yang “ada”, yaitu intisari tanah seperti disebut oleh ayat diatas. Ibn Rusyd memang tidak menerima konsep penciptaan dari tiada. “tiada”, kata ibnu rusyd tidak bisa berubah menjadi “ada”, yang terjadi , yang “ada” berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Contohnya, adanya bumi dan langit, ‘’ada’’ yang berasal dari bentuk materi asal yang empat (api,udara,air,dan tanah) diubah Tuhan menjadi “ada” dalam bentuk langit dan bumi. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis)[8]
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibnu rusyd tidak membawa kepada ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafah bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus-menerus.[9] Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta, sedangkan alam qadim berarti alam diciptakan. Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan. Alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Qur’an ayat 47-48 Surat Ibrahim.
(#þqä9$s)sùß`ÏB÷sçRr&ÈûøïuŽ|³t6Ï9$uZÎ=÷WÏB$yJßgãBöqs%ur$uZs9tbrßÎ7»tãÇÍÐÈ$yJèdqç¤s3sù(#qçR%s3sù
šÆÏBtûüÅ3n=ôgßJø9$#ÇÍÑÈ
Artinya: Maka Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan bahwa langit dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain. konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asal api, udara air, dan tanah kembali. Dari keempat unsur ini, Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan kandungan Al-Qur’an.[10]
Jadi, Al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filosof karena pandangannya tentang qadimnya alam. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan Al-Ghazali memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat Al-Qur’an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah pendapat filosof dengan Al-Qur’an, tetapi pendapat filosof dengan pendapat Al-Ghazali.
2.        Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam
Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat (perincian) terhadap apa yang ada di alam. Pernyataan ini menurut Al-Ghazali jelas-jelas menunjukkan ketidak berimanan mereka. Sebaliknya yang benar, kata Al-Ghazali adalah Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.[11]
Dalam rangka menangkis serangan Al- Ghazali terhadap para filsuf muslim, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa filusuf muslim tidaklah mempersoalkan apakah tuhan mengetahui hal – hal yang juz’i ( perincian yang terjadi ) pada alam semesta ini. Para filsuf muslim berpendapat bahwa Tuhan mengetahui hal – hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan adalah bagaimana cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu.
Menurut Ibnu Sina, Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i dengan juz’i-Nya dan mengetahui hal-hal yang kully dengan kully-Nya. Para filsuf muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal- hal yang bersifat juz’i itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal – hal yang demikian. Para filosof, kata Ibnu Rusyd telah menarik garis pemisah antara pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia, yakni kedua macam pengetahuan ini berbeda secara esensial. karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek ( akibat dari memperhatikan hal – hal yang bersifat juz’i ) , sedangkan pengetahuan Allah  merupakan sebab, yakni sebab bagi munculnya hal – hal yang bersifat juz’i itu. Selain itu, ketidaksamaan itu tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yakni semenjak azali tuhan mengetahui hal – hal yang bersifat juz’i di alam semesta ini, betapa kecilnya hal tersebut. Manusia tidak mengetahui pengetahuan sama sekali, kemudian secara berangsur – angsur memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan bagian demi bagian secara seksama. Dari itu, kata Ibnu Rusyd, siapa saja yang menyamakan dua macam ilmu atau pengetahuan ini berarti ia telah mempertemukan hal-hal yang saling bertentangan dan mengkiaskan yang ghaib dengan yang nyata. Sikap ini tidak benar dan jahil.[12]
Dengan kata lain bahwa segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui oleh Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam bentuknya yang konkrit. Karena ilmu-Nya terhadap sesuatu itu adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau cara yang ditempuh Tuhan untuk mengetahui sesuatu tidak seperti cara yang ditempuh oleh makhluk-Nya itu sendiri.[13]
3.        Kebangkitan Jasmani
Dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menunjukan kepada filosof yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, mereka dan para penganut pendapat tersebut dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena dalam al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani nanti di surga.
Al-Ghazali menolak pendapat filosof yang mengatakan bahwa pada hari kiamat nanti hanya jiwa (roh) saja yang dibangkitkan, sedangkan badan atau jasad tidak. Menurutnya bahwa yang dibangkitakan nanti adalah jiwa dan badan, sehingga pahala dan hukuman pun ada yang bersifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani (spiritual). Bukan seperti yang dikatakan oleh filosof bahwa pahala dan hukuman itu hanya bersifat spiritual dan hanya diterima oleh rohani.
Menurut Ibnu Rusyd tidaklah benar apa yang dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa filosof – filosof mengingkari kebangkitan jasmani.[14] Kebangkitan jasmani sudah tersiar sekurang – kurangnya seribu tahun yang lalu (dari masa Ibnu Rusyd), sedangkan filsafat kurang dari masa tersebut, sebab orang pertama yang mengatakan adanya kebnagkita jasmani ialah nabi – nabi Bani Israel sesudah Nabi Musa a.s.
Ibnu Rusyd juga menjelaskan bahwa filosof sebenarnya tidak menolak adanya kebangkitan jasmani, bahkan semua agama mengakui adanya kehidupan di akhirat. Hanya saja, kehidupan di akhirat menurut filosof itu tidak sama dengan kehidupan didunia. Hal ini sesuai dengan hadis: “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran”. Dan ucapan Ibnu Abbas:” Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja.” berarti bahwa di dalam surga nanti manusia tidak dalam wujud jasad.
Lebih lanjut Ibn Rusyd menganalogikan antara tidur dan kematian. Menurutnya, bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu merupakan bukti yang terang untuk mengatakan bahwa jiwa itu hidup terus. Karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya keadaan jiwa pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur. Perbandingan ini menurutnya dapat menunjukkan bahwa antara jiwa dan badan dapat dipisahkan.
Ibnu Rusyd selanjutnya menuduh Al-Ghazali sebagai orang yang tidak konsisten. Dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah al-Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak hanya badan, tetapi juga jiwa. Tetapi dalam bukunya mengenai tasawuf, ia mengatakan bahwa kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk rohani dan tidak berbentuk jasmani. Oleh karena itu tidak ada kesepakatan (ijma’) dalam hal ini. Dengan itu maka filosof yang mengatakan adanya kebangkitan dalam bentuk rohani tidaklah dapat dikafirkan. Namun demikian Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa bagi orang awam soal pembangkitan di akhirat itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, untuk lebih mendorong mereka untuk melakukan perbuatan yang baik dan menjahui perbuatan jelek.[15][15]
B.  Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Rusyd terhadap Problematika Sosial – Keagamaan
1.      Rules of Dialogue
Sumbangan lain yang  diberikan ibnu Rusyd adalah pandangannya mengenai cara membangun rules of dialogue dalam upaya memahami orang lain di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistimologis[16]yaitu:
Pertama, keharusan untuk memahami yang lain dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu – ilmu yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antar dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd memberi pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni diantara keduanya, harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu adanya perbedaan harus kita hargai.
Ketiga,mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara - cara Al-Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. “Tujuan saya,” kata Al-Ghazali, “adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil.” Ibnu Rusyd menjawab, “Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran bukan menyebarkan keraguan.”
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula pernah mengantarkan kejayaan islam di abad pertengahan.
2.   Wawasan Keagamaan
Terdapat empat hal dari pandangan pandangan Ibnu Rusyd yang senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan. Pertama,Pluralisme dalam ijtihad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pintu ijtihad ditutup oleh sebagian kalangan dan dipersempit dari persoalan hukum hanya menjadi persoalan hukum agama. Akibatnya, sikap taklid terhadap warisan hukum -hukum fikih yang telah terkodifikasi menjelma begitu saja menjadi wawasan sosial dan pandangan hidup.
Sikap taklid tersebut juga berawal dari kaburnya pemahaman tentang apa yang disebut agama (al-din) dan pemahaman agama (al-fikr al-diny).[17]
Melihat fenomena ini, Ibnu Rusyd mencoba kembali batas batas yang selama ini di kekang. Dengan bersandar bahwa pemikiran keagamaan bisa berkembang sesuai dengan perubahan ruang dan waktu, ia mengudar artefak-artefak hukum fikih dari berbagai mazhab, menganalisisnya dengan model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar perbedaan setiap mazhab dalam menggali dalil – dalil yang memproduk suatu hukum, kemudian menembus jantung hukum fikih itu sendiri, yaitu Al- Qur’an dan sunnah.
Dari setiap ijtihad fikih dua elemen penting yang patut diperhatikan adalah objektifikasi dan pertimbangan dimensi moral etiknya. Berkenaan dengan pendapat orang lain Ibnu Rusyd membuang jauh-jauh kebenaran dalam setiap pendapat dan selalu mengajak yang lain untuk menempatkan pendapat sesuai dengan konteksnya. Berijtihad berarti meniscayakan untuk membuka kritik dan pembenahan. Kesalahan yang terjadi dalam proses pergulatan akal jauh lebih baik dari sekedar menerima kebenaran dengan tanpa proses apapun.
Kedua, kebebasan berfikir dan tradisi kritik Ibnu Rusyd adalah maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Islam. Meskipun hidup dalam situasi kegelapan dan terpasungnya kebebasan berfikir, Ibnu Rusyd justru dengan lantang mengatakan bahwa rasionalisme dan filsafat sejajar dengan syariat. Dengan fisafat manusia mampu menemukan keagungan tuhan melalui olah cakrawala atas olah ciptaannya.
Ibnu Rusyd menjadi orang yang pertama kali mengkaji, menganalisis, menjabarkan serta mengomentari filsafat Aristoteles secara detail dan gamblang. Menurut Muhammad Arkoun Ibnu Rusyd berhasil menyeimbangkan akal dan iman. Dihadapan keluhuran tradisi keagamaan dan tradisi filsafat, pandangan Ibnu Rusyd telah mengenalkan kepada kita mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif dalam memelihara hak manusia untuk mengkritik dan bertanya.
Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Al – Qur’an sebagai kitab teks yang perlu diberi interpretasi kontekstual. Islam sendiri tidak melarang seseorang untuk berfilsafat, bahkan di Al- qur’an banyak terdapat ayat yang memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Takwil ( penafsiran ) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta teks Al – Qur’an, ia memaparkan bahwa takwil yang dimaksud disini adalah meningglkan arti harfiahnya dan mengambil arti majasinya ( analogi ). Hal ini pula yang dilakukan para ulama klasik pada periode awal dan pertengahan.
Sebagai ilmu kritis, filsafat memang bagaikan anjing menggonggong, mengganggu dan menggigit. Berfilsafat berarti selalu merasa tidak puas lantas membuka diri untuk menerima perdebatan dialektis. Berbeda dengan agama, filsafat selalu mempertanggungjawabkan setiap keputusannya secara rasional. Dan sejarah peradaban membuktikan, sebuah bangsa yang menjadikan filsafat sebagai bagian terpenting dalam proses pendewasaan bangsa akan relative lebih siap untuk maju di berbagai sektor kehidupan.
Ketiga, dialog antar agama, Ibnu Rusyd mengatakan perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita menemukan kebenaran dari agama lain, kita patut menerima dan menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka kita patut memperingatkan dan memaafkannya. Memang, salah satu problem umat beragama adalah bagaimanana berhubungan dengan umat agama lain. Dalam konteks islam, fikih yang tersedia mempunyai dilemanya tersendiri sehingga baik secara eksplisit maupun implisit telah menebarkan kecurigaan terhadap agama lain.[18] Dialog antar umat agama sekarang ini semakin dirasa penting seiring meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya kesadaran agama dalam masyarakat dapat menjadi faktor pemersatu sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Sosiolog muslim, Ibnu Kaldun, mengatakan perasaan seagama memang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosial (social belonging).
Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan mitra dialog secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melaui dialog, setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama lain, karena salah satu fungsi utama agama. Jadi, manusia dapat meraih kebenaran melalui pikirannya sendiri (mandiri) setelah ia berhasil melepaskan diri dari sifat – sifat hewani. Tingkatan ini oleh Ibnu Bajah disebut dengan istilah mutawwahid. Mutawwahid dapat diartikan sebagai penyendirian. Mutawahid disini berarti hidup menyendiri sambil merenungkan berbagai ilmu teoritis. Dengan cara begitu, ia dapat berhubungan dengan al aql al-fa’al (ful force mind).
Keempat, control atas kebijakan publik. Menurut Ibn Rusyd, islam tidak mempunyai banyak pemikiran tentang filsafat politik, sementara perebutan kekuasaan amat dahsyat terjadi. Oleh karena itu,  dengan mendasarkan pada filsafat politik Plato, ia menghendaki seorang pemimpin Negara juga seorang filsuf.







BAB III
PENUTUP

Telah disebutkan bahwa al-Ghazali telah menghukumi kafir terhadap para filosof-filosof dalam tiga masalah. Keputusan al-Ghazali tersebut tidak dibenarkan oleh Ibnu Rusyd. Pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani tidak beralasan karena masalah ini bagi para filosof adalah persoalan teori. Pengkafiran dalam masalah tidak mengetahuinya Tuhan terhadap hal-hal yang kecil tidak tepat karena masalah ini tidak menjadi pendapat-pendapat filosof. Pengkafiran dalam masalah qadimnya alam tidak juga tepat, karena pengertian qadimnya alam tidak sama dengan apa yang dipahami oleh ulama-ulama Kalam. Sedangkan kontekstualisasi Ibnu Rusyd dalam bidang sosio-agama yaitu Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Ibnu Rusyd juga senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan, seperti Pluralisme dalam berijtihad, kebebasan untuk berfikir, beliau juga mengadakan dialog antar umat beragama bertujuan untuk mencegah kesalahpahaman.




DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, ( Jakarta : Raja Grafindo
Al-Ahwany Fuad, Dalamsegi-segi  PemikiranFilsafatDalam Islam, Ahmad
Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, (TahqiqSulaiman Dunia, Kairo: Dar al Ma’arif, 1966), Ahmad
Bakry Hasbullah,Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tintamas, 1984),
Daudy (edt.) Jakarta: BulanBintang, 1984.
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka Setia, 2009
Persada,1993)
HanafAhmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999),
leaman Oliver, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali, 1989)
NasutionHarun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UII Press, 1979)
­­­­­­­­­­­­­­----------------------Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
SunaryaYaya, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Arfino Raya ,2012)
supenaIlyas, Filsafat Islam, (Semarang: Walisongo PRESS, 2002).
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004)



[1] Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, (TahqiqSulaiman Dunia, Kairo: Dar al Ma’arif, 1966), hal. 307-308
[2]Ahmad Fuad Al-Ahwany, Dalamsegi-segi  PemikiranFilsafatDalam Islam, Ahmad Daudy (edt.) (Jakarta: BulanBintang, 1984), hal. 66.
[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, (Jakarta: UII Press, 1979), hlm. 65.
[4] Oliver leaman, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.56.
[5] Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 232.
[6] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada,1993), hlm. 127.
[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 52.
[8] Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Arfino Raya ,2012), hlm. 96
[9] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf , hlm. 129.
[10] Opcit.Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 96-97.
[11] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hlm.138-139.
[12] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 236-237.
[13] Hasbullah Bakry,Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm. 72.
[14] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), hlm.183.

[16]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.231

[17] Opcit.Ilyas supena, Filsafat Islam, hlm.153
[18]Opcit. Ilyas supena, Filsafat Islam, hlm.154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar