PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI FATIMIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dinasti
Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini
didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia
muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti
Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua
sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan
ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama
ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad
dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian
timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah,
Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti
Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah.
Dinasti
Fathimiyah adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga
memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya
pengutusan Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang
pada awalnya hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang
dan saling menghormati.
Dari
paparan di atas penulis tertarik untuk membahas lebih dalam lagi tentang
Dinasti Fathimiyah ini dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah berdirinya Dinasti Fathimiyah?
2. Siapa
Saja Daulah Fatimiyah?
3. Bagaimana
perkembangan dan kemajuan Dinasti Fathimiyah?
4. Bagaimana
puncak kejayaan Dinasti Fathimiyah?
5. Apa
saja faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatmiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah berdirinya Dinasti
Fathimiyah.
Dinasti Fathimiyah berdiri pada
tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567 H/1171 M yang pada awalnya hanya merupakan
sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di Afrika Utara, dan kemudian
berpindah ke Mesir. Dinasti ini dinisbatkan kepada Fatimah Zahra putri Nabi
Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib Radhiallahu anhu. Dan juga
dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali
bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti Rasulullah SAW. Namun masalah nasab
keturunan Fathimiyah ini masih dan terus menjadi perdebatan antara para
sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada kata kesepakatan diantara para
sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini disebabkan beberapa faktor
diantaranya:
1. Pergolakan
politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
2. Ketidakberanian
dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena
takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin
mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi.
Dinasti Fatimiyah beraliran syiah Ismailiyah dan didirikan
oleh Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar Ubaidillah al Mahdi.
Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara karena propaganda
Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari suku Barber Ketama.
Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan gurbernur Aglabiyah
di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez dijadikan sebagai
bawahan.[1]
Pada awalnya, Syiah Ismailiyah tidak menampakkan gerakannya
secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun yang mentransformasikan ini
sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan tujuan menegakkan kekuasaan
Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris ke segala penjuru wilayah
muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan inilah yang pada
akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fatimiyah.
Pasca kematian Abdullah ibn Maimun, tampuk pimpinan dijabat
oleh Abu Abdullah al-Husain, melalui propagandanya ia mampu menarik simpati
suku Khitamah dari kalangan Berber yang bermukim didaerah Kagbyle untuk menjadi
pengikut setia. Dengan kekuatan ini, mereka menyeberang ke Afrika Utara dan
berhasil mengalahkan pasukan Ziyadat Allah selaku Penguasa Afrika Utara saat
itu. Syi’ah Islamiyah mulai menampakkan kekuatannya setelah tampuk Pemerintahan
dijabat oleh Sa’id ibn Husain al-Islamiyah yang menggantikan Abu Abdullah
al-Husain. Di bawah kepemimpinannya, Syi’ah Islamiyah berhasil menaklukkan
Tunisia sebagai pusat kekusaan daulah Aglabiyah pada tahun 909 M. Said
memproklamasikan dirinya sebagai imam dengan gelar Ubaidillaj al Mahdi.
Sa’id mengaku dirinya sebagai putera Muhammad al-Habib
seorang cucu imam Islamiyah. Namun kalangan Sunni berpendapat bahwa Sa’id
berasal dari keturunan Yahudi sehingga dinasti yang didirikannya pada awalnya
disebut dinasti Ubaidillah. Sementara Ibn Khaldun, Ibn al-Asir dan Philip K.
Hitti berpendapat bahwa Sa’id memang berasal dari garis keturunan Fatimah
puteri Nabi Muhammad SAW, yang bersambung garis keturunannya hingga Husain bin
Ali bin Abi Thalib.
Ubaidillah merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia
memerintah selama lebih kurang 25 tahun (904-934 M). Dalam masa
pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan wilayah kekuasaan ke seluruh
Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria, Sardania, Corsica, dan
balerick. Pada 904 M, Kahalifah al-Mahdi mendirikan kota baru dipantai Tunisia
yang diberi nama kota Mahdiyah yang didirikan sebagai ibukota pemerintahan.
Di Afrika Utara kekuasaan mereka segera menjadi besar. Pada
tahun 909 mereka dapat menguasai dinasti Rustamiyah dan Tahert serta menyerang
bani Idris di Maroko. Pekerjaan daulah Fatimiyah yang pertama adalah mengambil
kepercayaan ummat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah
dan istri dari Ali bin Abu Muthalib.
Daulah Fatimiyah memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan
Abu Tamin Ma’Abu Daud yang bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil
menaklukkan Mesir dan memindahkan pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat
merasakan kehidupan yang makmur dan sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk
mensejahterakan rakyatnya. Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti
Mesjid, Rumah sakit, Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat
perbelanjaan. Pada masa ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan
kerajinan seperti tenunan, kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca,
ramuan, obat-obatan.
Kesuksesan lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu
pengetahuan. Besarnya minat masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat
dukungan penguasa dengan membangun Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan perguruan
tinggi al-Azhar (yang sebelumnya adalah bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu
kedokteran, Fiqh, Tauhid, Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.
B.
Khalifah
Daulah Fatimiyah
Khalifah-khalifah daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada
empat belas orang
1. Abu
Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M - 934 M).
2. Abul-Qasim
Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M - 946 M).
3. Abu
Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu
Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu
Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu
'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan
'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu
Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)
9. Al-Musta'li
bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir
bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M).
11. Abd
al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. al-Zafir
(1149 M – 1154 M).
13. al-Fa'iz
(1154 M - 1160 M).
14. al-'Adid
(1160 M – 1171 M).
Pekerjaan Fatimiyah yang pertama adalah mengambil
kepercayaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fatimah putri Rasul dan
istri dari Ali ibn Abi Thalib. Tugas yang selanjutnya diperankan oleh Muiz yang
mempunyai seorang Jendral bernama Jauhar Sicily yang dikirim untuk menguasai
Mesir sebagai pusat dunia Islam zaman itu. Berkat perjuangan Jendral Jauhar,
Mesir dapat direbut dalam masa yang pendek. Tugas utamanya adalah:
a. Mendirikan
Ibu Kota baru yaitu Kairo
b. Membina
suatu Universitas Islam yaitu al-Azhar
c. Menyebarluaskan
Ideologi Fatimiyah yaitu Syi’ah, ke Palestina, Syiria dan Hijaz.
Setelah itu baru khalifah Muiz datang ke Mesir tahun 362
H/973 M memasuki kota Iskandariyah, kemudian menuju Kairo dan memasuki kota
yang baru. Tiga tahun kemudian Muiz meninggal dunia dan digantikan oleh Aziz.
Sesudah itu digantikan oleh al-Hakim yang melanjutkan pembangunan daulah
Fatimiyah. Hakim memerintah selama 25 tahun, jasanya yang besar adalah
mendirikan Darul Hikmah yang berfungsi sebagai akademi yang sejajar dengan lembaga
di Cordova dan Bagdad. Dilengkapi dengan perpustakaan yang bermana Dar al-Ulum
yang diisi dengan bermacam-macam buku dengan berbagai ilmu.[2]
C. Perkembangan
dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.
Pada tahun 945 M bani Fatimiyah
sudah berhasil memantapkan diri di Tunisia dan menguasai beberapa daerah
sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan yang paling penting terjadi selama
pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang Jendral yang cemerlang yaitu
Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar memimpin suatu pasukan penakluk
ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan atas seluruh Afrika Utara.
Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas tersirat dalam
pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai pusat dunia
Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang tidak
berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk
propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar
menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa mengalami
kesulitan yang berarti dia bisa menguasai negara ini. Seorang pangeran
Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi rezim Ikhshidiyah sudah tidak
berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar. Nama khalifah
Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at, walaupun cara-cara
ibadah Ismailiyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera mulai
membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama al-Qahirah yang
berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota
Kairo menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyah dan pusat pemerintahan.[3]
Pada
masa pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
Agama dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu,
pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat
meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi,
Nasrani, Turki, Sudan.
Menurut
Ali, mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian
terhadap urusan agama non muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia
tidak pernah merasakan kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim.
Banyak orang Kristen, seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah
dan rumah ibadah mereka dipugar oleh pemerintah.
Akan
tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang
Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan
kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen
dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu
tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu,
dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang
yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang
sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.
Sementara
itu, agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman
Syi’ah Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para
missionaris daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan
berhasil meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah
dipandang sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah.
Meskipun
para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi terhadap orang yang tidak mau
mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum bunuh. Pada tahun 391 H
khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak mau mengakui
keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H, al-Hakim juga
memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan tulisan yang
mencela para sahabat.
Jelasnya
peranan agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan
mempertahankan kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap
orang yang tidak mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa apabila sikap
seperti dapat berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar
terjalin hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim
mulai bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya
khalifah Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang
khusus mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga
warga Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan sunni.
Sikap
yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan Abdullah
al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di
awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan
masyarakat secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syi’ah
Isma’iliyah yang merupakan madzhab negara. Ketidaksenangan khalifah Fatimiyah
kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah
Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at
dan mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya.
Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih.
Meskipun
al-Mu’iz menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan selalu menempuh jalan
damai terhadap pera pemimpin dengan Gubernur dengan menjanjikan penghargaan
kepada yang bersedia menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang
bersedia mengikuti mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah
Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh
penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab
Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam
pemerintahan.
Tindakan
tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang yang
menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan tegas
terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika raja
muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah
dengan tidak menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat
khutbah jum’at melainkan menyebut-nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak
diambinya tindakan tegas dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada
pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai
al-Muntasir sebgai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia
Barat setelah Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu.
Dalam
bidang administrasi pemerintahan tidak benyak berubah. Sistem administrasi yang
dikembangkan khalifah Abbasiyah masih tyerus saja dipraktekkan. Khalifah
menjabat sebagai kepala negara baik dalam urusan keduniaan maupun dalam urusan
spritual. Ia berwenang mengangkat sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di
bawahnya. Selain itu sakralisasi khalifah yang muncul di masa pemerintahan
Abbasiyah masih tetap dipertahankan yang indikatornya dapat dilihat dari gelar
yang disandang para khalifah Fatimiyah seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz
billah, al-Hakim bin Amrullah dan sebagainya.
Ada
tiga hal yang dapat disoroti mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai
pada masa Dinasti Fatimiyah berkuasa yakni :
1. Kemajuan
Administrasi Pemerintahan
Pengelolaan
negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri.
Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama kelompok
militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok yaitu pejabat militer dan pengawal
khalifah, petugas keamanan, resimen-resimen. Yang kedua adalah kelompk sipil
yang terdiri atas Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang), Ketua Dakwah yang
memimpin pengajian, Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan takaran),
Bendaharawan negara (menangani Bait Maal), Kepala urusan rumah tangga raja,
Petugas pembaca Al Qur'an, dan Sekretaris berbagai Departemen.
Selain
pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola
daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola oleh pejabat setempat.
2. Penyebaran
faham Syiah
Ketika
Al Muiz berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat madzhab Fikih
: Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri menganut madzhab
Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan
Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulam Syiah
sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua
jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh
karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah supaya
jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama sehingga
pemeluk agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan diantara mereka
diangkat menjadi pejabat istana.
Dari
mesir Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin luas sampai ke Palestina, dan kemudian
propaganda Syiah Ismailiyah semakin tersebar luas melalui sebuah gerakan agen
rahasia.
3. Perkembangan
ilmu pengetahuan
Dinasti
Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah
membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang
nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama
Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang
sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al
Ulum digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu
pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:
a. Muhammad
al Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
b. Al
Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
c. Al
nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
d. Ali
bin Yunus (ahli Astronomi)
e. Ali
Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)
Disamping
itu kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa. Indikasi-indikasi kemajuan
tersebut dapat diketahui dari banyaknya bangunan-bangunan yang dibangun berupa
masjid-masjid, universitas, rumah sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama
dibangun dan dilengkapi dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah
dicapai kemajuan besar khususnya yang berkaitan dengan militer seperti
alat-alat perang, kapal dan sebagainya.[4]
Dalam
menyebarkan tentang kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat
Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan
ahli-ahli filsafat lainnya.[5]
Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada Dinasti Fatimiyah adalah ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya
kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok
inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh
golongan Mu’tazilah. Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti
Fatimiyah ini adalah:
1. Abu
Hatim Ar-Rozi, dia adalah seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak
dalam masalah politik, Abu Hatim menulis beberapa buku dia ntaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200
halaman. Di dalamnya banyak membahas masalah Fiqh, filsafat dan aliran-aliran
dalam agama.
2. Abu
Abdillah An-Nasafi, dia adalah seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih
banyak membahas masalah al-Ushul
al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu
Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan
judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3. Abu
Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak
tulisannya
4. Abu
Hanifah An-Nu’man Al-Magribi
5. Ja’far
Ibnu Mansyur Al-Yamani
6. Hamiduddin
Al-Qirmani.[6]
D.
Puncak Kejayaan Dinasti Fatimiyah.
Sepanjang
kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir senantiasa
diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah
pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Di bawah kekuasaannyalah dinasti
Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan
dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang
dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus,
Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang
sangat luas.
Di
bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi
kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah
menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan
Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz
menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi
istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad
berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi
khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari
raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami
karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan
akan kau lakukan kami akan membalasnya”.
Bisa
dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah
khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo
yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jembatan, dan
kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat
Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan
prilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen
“Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak
laki-laki dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga
Melkis yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem.
Menurut
Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan
kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama
Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX,
menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya
selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad
adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat
Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani Fathimiyah
setelah didesak oleh kalifah Al Mansur pada tahun 951 M.
E. Masa
Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fatimiyah.
Gejala-gejala
yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat di penghujung masa
pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan
al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah
pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.[7]
Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dan runtuhnya dinasti Fatimiyah dapat
diklarifikasikan kepada faktor internal dan eksternal:
1. Faktor
Internal
Faktor
internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran dinasti
Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim
Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti
yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di
Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama
hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi.
Selain
itu, para khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda pemerintahan tidak
bejalan secara efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan khalifah yang
diangkat banyak yang masih berusia relatif muda sehingga kurang cakap dalm
mengambil kebijakan. Tragisnya mereka ibarat boneka ditangan para wajir karena
peranan wajir begitu dominan dalam mengatur pemerintahan. Fenomena ini muncul
pasca wafatnya al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan puternya bernama
Abu Mansur al-Hakim yang pada saat pengangkatannya masih berusia 11 tahun.
Kebijakan dalam pemerintahannya sangat tergantung kepada keputusan Gubernur
bernama Barjawan yang meskipun pada akhirnya dihukum al-hakim karena
penyalahgunaan kekuasaan.
Bukti
lain ketidakcakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap
penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang dengan
maklumat al-Hakim yang dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga
negara. Maklumat tersebut berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi
orang Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib
sebagai simbol kehancuran.
Setelah
al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali yang bergelar
al-Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir masih berusia 16 tahun dan
kebijakan pemerintahan berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk,
sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja boneka ditangan para wajirnya.
Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut hingga masa
akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga belas yang bernam
al-Faiz dinobatkan pada saat masih balita nanun keburu meninggal dunia sebelum
berusia dewasa. Sementara khalifah terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat
berusia sembilan tahun.
Faktor
lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang
sehingga sunagi Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu
Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar,
(anak Abu Tamim Ma’ad yang tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan
menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi
dua.
Selain
itu, faktor internal lainnya sebagai penyebab kehancuran dinasti Fatimiyah
adalah persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada masa al-Adid
sebagai khalifah terakhir misalnya, terjadi persaingan antara Abu Sujak Syawar
dan Dargam untuk merebutkan jabatan wajir yang akhirnya dimenangkan Dargam.
Karena sakit hati, Syawar meminta bantuan Nur Al-Din al-Zanki untuk memulihkan
kekuasannya di Mesir, jika berhasil ia berjanji untuk menyerahkan sepertiga
hasil penerimaan negara kepadanya.
Tawaran
ini diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah pimpinan Syirkuh dan
keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini mampu mengalahkan Dargam
sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir dan memenuhi janjinya kepada Nur
al-Din. Perebutan kekuasaan ditingkat wazir ini merupakan awal munculnya
kekuasaan asing yang pada akhirnya mampu merebut kekuasaan dari tangan dinasti
Fatimiyah dan membentuk dinasti baru bernama Ayyubiyah.
2. Faktor
Eksternal
Adapun
faktor eksternal yang menjadi penyebab runruhnya dinasti Fatimiyah adalah
menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki adalah Gubernur
Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas
al-Zanki menonjol pada saat ia mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan
khalifah al-Zafir yang tidak mampu mengalahkan tentara salib.
Dikarenakan
rasa cemburunya kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap
sebagai saingan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan
perlawanan. Agar mampu menguat kekuasannya, Syawar meminta bantuan tentara
Salabiyah dan menawarkan janji seperti yang dilakukannya terhadap Nural-Din.
Tawaran ini diterima King Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya
sebagai suatu kesempatan untuk dapat menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah
di Pelusium dan pasukan Syirkuh dapat mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri
dapat ditangkap dan dihukum bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah
khalifah Fatimiyah.
Dengan
kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun 565 H /
1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din
Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah
al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan
daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya
dari paham syi’ah ke sunni.
Khalifah
Fatimiyah berakhir pada tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantipasi perlawanan
dari kalangan Fatimiyah, Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan
dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng
tersebut masih berdiri kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang
terletak tidak jauh dari Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa
Asia di Qatamiyah.[8]
F. Masa
Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah
Kemunduran
Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khalifah al-Hakim. Ketika diangkat
menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hakim memerintah dengan tangan
besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan kekejaman. Ia membunuh
beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk sebuah
gereja yang didalamnya terdapat kuburan suci umat Kristen. Maklumat
penghancuran kuburan suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama
Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab terjadinya
perang salib. Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam, dan
mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai. Orang-orang Yahudi dan Nasrani
dibunuh dan aturan-aturan tidak ditegakkan dengan konsisten. Ia juga dengan
mudah membunuh orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa
tanpa alasan yang jelas. Kemudian pada tahun 381 H/991 M ia menyerang Aleppo
dan berhasil merebut Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini
menimbulkan sikap oposan dari penduduk dan menyeret Dinasti Fatimiyah dalam
konflik dengan Bizantium. Walaupun pada akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan
perjanjian damai dengan Bizantium selama sepuluh tahun.
Al-Hakim
kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran Ismailiyah, dan
menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana dan
berkelana hingga akhirnya terbunuh di Muqatam pada 13 Pebruari 1021.
Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya,
Siti al-Muluk, yang telah diperhentikan tidak hormat olehnya.
Al-Hakim
kemudian digantikan oleh az-Zahir, anaknya sendiri. Ketika diangkat menjadi
khalifah ia baru berusia 16 tahun. Pada mulanya Dinasti Fatimiyah didirikan
oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa Az-Zahir situasi berubah,
khalifah lebih mendekati keturunan Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan
Fatimiyah. Az-Zahir mendapat izin dari Konsantin ke VII agar namanya disebutkan
dimesjid-mesjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat
izin untuk memperbaiki mesjid yang berada di konstantinopel. Ini semua sebagai
balasan terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang di
dalamnya terdapat kuburan suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh
Al-Hakim.
Setelah
sepeninggal Az-Zahir kemudian digantikan oleh anaknya sendiri yang baru berusia
11 tahun, yaitu al-Mustanshir. Mulai masa ini system pemerintahan Dinasti
Fatimiyah berobah menjadi parlementer, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai
symbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para mentri. Oleh
karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh
mentri-mentri). Al-Mustanshir sebagaimana juga az-Zahir lebih mendekati
keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar.
Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal
dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah
kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.
Pada masa
al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah di wilayah Suriah mulai terkoyak
dengan cepat. Sementara kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani
Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan
propinsi-propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat
kekuasaan, bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka,
Dinasti Abbasiyah. Pada tahun 1052, suku arab yang terdiri dari bani Hilal dan
bani Sulaim yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak
kebagian barat dan berhasil menduduki Tropoli dan Tunisia selama beberapa
tahun.
Sementara
itu pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia, yang mengakui kedaulatan
Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas
hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kewasan semenanjung arab yang
mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Az-Zahir
kemudian digantikan oleh al-Mustansir. Di masa ini terjadi kekacauan
dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian terjadi antara orang-orang Turki, suku
Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara lumpuh dan kelaparan yang terjadi
selama tujuh tahun telah melumpuhkan perekonomian Negara. Di tengah kekacauan
itu, pada tahun 1073 khalifah memanggil Badr al-Jamali, orang Armenia bekas
budak dari kegurbernuran Akka dan memberinya wewenang untuk bertindak sebagai
wazir dan panglima tertinggi. Amir al Juyusi (komando perang) yang baru ini
mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia punya untuk memadamkan
berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada pemerintahan Fatimiyah. Tapi
usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-Mustansir yaitu
Al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran Dinasti ini.
Tahun-tahun
terakhir dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah ditandai dengan munculnya perseteruan
yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya
masing-masing. Setelah al-Mustansir wafat, terjadi perpecahan serius dalam
tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada
dibelakang kedua anak al-Mustansir yaitu Nizar dan al-Musta’li. Pendukung Nizar
lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung
al-Musta’li lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah
al-Musta’li dengan ia didukung oleh al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung al-Musta’li
dengan harapan ia akan memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis
spiritual Ismailiyah menjadi runtuh. Setelah al-Musta’li wafat. Al-Amin anak
al-musta’li yang baru berusia lima tahun diangkat menjadi khalifah.
Al-Amin
kemudian digantikan oleh al-Hafidz. Karena ia meninggal kekuasaannya
benar-benar hanya sebatas istana kekhalifahan saja. Anak dan penggantinya,
az-Zafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda, hingga
merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah az-Zafir melalui wazirnya
Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah
kekuasaan Baghdad. Nuruddin mengirim pasukan ke Mesir di bawah panglima Syirkuh
dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayubi yang kemudian berhasil membendung invasi
tertara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan az-Zafir direbut oleh wazirnya, Ibnu
Sallar. Tapi Ibnu Salar kemudian dibunuh, dan az-Zafir juga terbunuh secara
misterius, kemudian naiklah al-Faiz, anak az-Zafir yang baru berusia empat
tahun sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dan
digantikan oleh sepupunya al-Adhid yang baru berumur sembilan tahun. Maka pada
tahun 1167 M pasukan Nuruddin az-Zanki untuk kedua kalinya kembali memasuki
Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini
tidak hanya membantu melawan kaum salib, tetapi juga untuk menguasai Mesir.
Dari pada Mesir dikuasai tentara salib, lebih baik mereka sendiri yang
menguasainya. Apalagi perdana mentri Mesir waktu itu, telah melakukan
penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil mengalahkan tentara salib dan
menguasai Mesir.
Semenjak
itulah kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia mendapat
dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan
menguatnya pengaruh Nuruddin az-Zanki dan panglimanya Salahuddin al-Ayubi.
Puncaknya terjadi pada masa al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah
menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin al-Ayubi mengadakan
pertemuan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan khutbah dengan
menyebut nama khalifah Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuhnya
dan berakhirnya kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan
oleh Dinasti Ayubiyah.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu imperium besar
sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, daulah ini hanya berupa dinasti kecil
yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah. Mereka mampu memerintah
lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan
Salah al-Din al-Ayyubi.
Dalam masa pemerintahannya, daulah Fatimiyah sangat konsern
dengan pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah. Untuk kesuksesannya, mereka
mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan dan warga masyarakat untuk
menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil yang ditandai dengan
banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun berasal dari non
muslim.
Kemunduran dinasti Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya
kekuasaan pemerintah dikarenakan pra khalifah hanya sebagai raja boneka sebab
roda pemerintah didominasi oleh kebijakan para wazir sementara khalifah hanya
hidup menikmati kekuasaannya didalam istana yang megah.
DAFTAR PUSTAKA
Aiman Fuad Sayyid. Daulat
Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah lil-Bananiyah. 1992. h. 30
Ahmad Abidin Zainal, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2000),
Amin
Ahmad, Dhuhal al-Islam, (Kairo:
Lajnah Ta’wa al Nasyr),
Hasan Ibrahim, Tarikh al-Daulah al-Fatimiah, (Kairo: Jannatut Ta’lif, 1958),
Sunanto,
Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Watt W.Montgomery, penterjemah Hartono
Hadikusumo, Kejayaan Islam: Kajian Kritis
dari tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990).
Ibrahim.2012.
Makalah Dinasti Fathimiyah,http://makalah majan naii.blog spot.com /2012/05/ dinasti-fathimiyah. ht ml.12 Juni 2013.
[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 243
[2] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), h. 109
[3] W.Montgomery Watt,
penterjemah Hartono Hadikusumo, Kejayaan
Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1990), h. 216
[4]Abati Hawa. 2008. Dinasti Fatimiyah, http://abatihawa.blogspot.com/2008/07/dinasti-fatimiah-297-h-322-h-910-m-934.html. 10 Juni 2013.
[5] Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, (Kairo: Lajnah Ta’wa
al Nasyr), h. 188
[7] Musyrifah Sunanto, Op.
Cit., h. 245
[8]Ibrahim. 2012. Makalah Dinasti Fathimiyah, http:// makalah majan naii. blogspot. com/2012/05/ dinasti-fathimiyah.
html.12 Juni 2013.
[9] Dr. Fuad Sayyid
Aiman. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. Dar El-Masriyah
lil-Bananiyah. 1992. h. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar